Rabu, 02 Desember 2009

Babak Baru: The Sleeping Beauty Berubah (Jadi Insomnia)

"I'm here! I'm here! I've come back! I'm allright!" kata Lucy Pevensie pas keluar dari lemari apel. Bayangkan diriku yang jadi Lucy dan aku berkata begitu untuk kalian semua! Aku kembali, Kawan! Serasa seperti kemarin padahal udah lebih dari setahun lalu nggak blogging. Aku menyapa kalian lagi di awal pagi yang cerah di bulan Desember. Aloha, everybody!

Baik! Setelah satu tahun berpisah, aku... telah berubah lho, Teman-temon. Aku udah ganti status dari seorang siswi menjadi seorang mahasiswi. Yeeeey, mahasiswi yang terperangkap di tengah-tengah kemayunya Kota Budaya, Solo! Hoho, mantap kan? Dan perubahan yang paling signifikan adalah, seorang tukang tidur yang dulu suka tidur di kelas nyaris tiap saat, kini baru dua kali tidur di ruang kuliah dari awal September sampai sekarang. Luar biasa kan? Ck ck ck...

O iya, jangan pikir kalo diriku kuliah di UNS ya. Tapi melanjutkan bidang di sekolahku dulu, D III Analis Kesehatan.
Hahay!
Dan diriku juga tetap setia menjd penghuni kos yang selalu berpisah dengan keluarga :'(.

Oke, akan kuceritakan semua kisahku di kota kemayu ini. Tapi ga sekarang. Tunggu episode selanjutnya ya. See you around, Guys!

Rabu, 24 Desember 2008

Chapter 17: Misteri yang Tak Menyenangkan

Aku dan Yudha saling melirik. Yudha tersenyum padaku sambil mengangguk.

"Kami siap!"

"Bagus! Yudha, kau pertama. Aku akan mengajarimu cara menggunakan katapel ini. O iya, batunya!" Rama mengeluarkan kantung kecil berisi batu putih seukuran mutiara. Ia mengambil tiga butir lalu mengikatkan kantung itu di ikat pinggang Yudha. "Perhatikan!" Rama mengambil ketapel, memasang batunya, memfokuskan sasaran yang berupa dinding batu berukir lingkaran, lalu menembak dan dinding batu itu langsung berlubang cukup dalam tepat di tengah-tengah lingkaran. Rama melempar senyumya ke arah kami. Yudha menatapnya takjub. "Cobalah."

Yudha maju. Mengambil katapel dan batu dari tangan Rama, lalu memasangnya. Lalu ia memfokuskan sasarannya di lingkaran samping lingkaran sasaran Rama. Apakah Yudha berhasil? Mungkin jawaban yang tepat adalah hampir berhasil. Ia berhasil membuat lubang tapi tidak tepat di tengah.

"Bagus!" puji Rama. Yudha tersenyum padanya. "Teruslah berlatih." Mata Rama berpindah menatapku. "Sekarang giliranmu."

Rama mengambil tombak miliknya. Aku memperhatikan tombak pemberian Rama ini. Terbuat dari kayu dan dipernis hitam mengkilap dengan ukiran ornamen yang rumit. Ujung tombak sangat runcing dan aku menyadari ujungnya terbuat dari perak.

"Perak itu mengandung racun yang sangat mematikan jika menusuk kulitmu. Maka, berhati-hatilah. Baik, perhatikan caraku memainkan tombak ini."

Rama memainkan tombaknya yang ujungnya tumpul dengan satu tangan, tangan kanannya. Ia mengayunkan tombaknya, bersikap menangkis, memukul angin, dan memeragakan menusuk udara kosong dengan lincah. Aku sempat bingung dibuatnya. Lalu aku berlatih langsung dengannya. Aku menangkis dengan tombakku, menahan serangan, berusaha menyerang balik, berusaha memukulnya, tapi Rama terlalu mahir dan gerakanku masih sangat lambat. Biarpun begitu, ia berhasil membakar semangatku. Kami terus berlatih. Begitupun Yudha yang sudah enam kali menembak tepat sasaran dengan ketapelnya.

Peluhku mulai membasahi pakaianku. Walaupun cukup lelah, aku tetap berlatih. Aku belum berhasil melumpuhkan pertahanan Rama. Ketika Rama menyerang tangan kananku, aku berkilah dan menangkis tombak Rama sekuat tenaga, dan akhirnya, tombak Rama jatuh. Aku berhasil.

"Bagus sekali, Beth!" seru Rama.

"Apa tak berlebihan, Rama?" Gnane muncul secara tiba-tiba dari pintu utama. "Kita bukan pergi untuk berperang."

Pakaian Gnane tampak seperti biasanya. Yudha langsung bersembunyi di balik tubuh Rama yang tinggi besar begitu ia menyadari kehadiran Gnane.

"Aku hanya melatih pertahanan diri mereka. Bukan untuk perang, Gnane. Bahaya mengancam di manapun," jawab Rama santai.

"Baiklah. Hei, Bocah! Apa yang kaulakukan di belakang Rama?" tanya Gnane yang belum mengetahui kelemahan Yudha.

"Bethari," bisik Yudha. Rama tersenyum melihat Yudha. "Dia bukan jengglot, kan?"

Aku tertawa. Lalu menarik Yudha keluar dari persembunyiannya. Yudha sempat menahan tarikanku. Dan akhirnya Rama menyingkir sehingga Yudha tak berlindung lagi.

"Kau cowok!" seruku. "Dia gnome. Bukan jengglot."

Yudha yang menutup mata mulai mengintip perlahan-lahan, dan akhirnya ia berani membuka matanya.

"Tak perlu takut padaku, Nak, sebelum aku berubah menjadi jengglot. Nah, Ratu dan bangsaku sudah siap untuk berangkat."

"Makanan? Sudah siap?" tanya Rama.

"Semuanya sudah siap. Garuda-mu juga sudah siap."

Aku menunggu keputusan Rama. Air mukanya berubah menjadi murung. Lalu ia menatap aku dan Yudha dengan tatapan penuh kasih sayang, berlutut di antara aku dan Yudha. Ia memegang pundak kami dan berbisik, "Ah, satu pesan penting lagi. Jika aku tak bersama kalian sampai akhir, temuilah para anggota Tiga Fak. Carilah penyebab dan pembuat racun itu. Aku berharap kita selalu bersama hingga akhir."

Entah kenapa pesan-pesan dari Rama selalu membuat perasaan kami takut. Aku menangis. Ketakutan itu membuatku tak mau beranjak. Aku melihat Yudha yang juga ketakutan.

"Mengapa kedengarannya sangat mengerikan?" tanya Yudha di bahu kanan Rama.

"Semoga tak mengerikan seperti yang kau bayangkan."

"Aku takut," bisikku di telinga kiri Rama.

"Ketakutan akan mengacaukan segalanya. Aku yakin, kalian adalah anak-anak pemberani. Parhelion tidak memilih anak-anak penakut," kata Rama sambil perlahan-lahan melepaskan pelukannya. "Berangkatlah bersama Gnane. Aku akan menyusul."

Rama tersenyum kepada kami. Senyum yang berbeda. Aku tahu senyumnya lebih tulus kali ini. Lalu ia dan Tar menghilang di balik celah. Menurutku, ia akan mengambil petanya.

"Nah, anak-anak, siap?" Gnane memecah keheningan. "Dan kau, Pria Muda, bisa membedakan aku dengan Jengglot?"

Aku melirik Yudha yang masih ragu-ragu. "Mungkin," jawabnya pelan.

"Ayo, kalau begitu." Gnane melangkah di depan kami. Aku dan Yudha saling berpandangan, lalu kami mengangguk pasti.

Senin, 22 Desember 2008

Orang yang Paling Kucintai

Ada yang inget lagu ini?

Mother, how are you today?
Here is a note from your daughter
With me everything's OK
Mother, how are you today?

Mother, don't worry, I'm fine
Promise to see you this summer
This time there will be no delay
Mother, how are you today?

I found the man of my dreams
Next time you will get to know him
Many things happened while I was away
Mother, how are you today?

Lagu ini punya kenangan khusus waktu aku masih kelas 1 SMP kalo nggak salah {pikunnya udah kronis}. Aku lupa tepatnya perayaan apa waktu itu {maklum, penyakit pikunku semakin parah dahsyat, ada yang bisa ngingetin, Teman Lama?} tapi pas zaman itu skulku ngebentuk EEC {Estusi-nama sebutan smpq yg dikasih ma mantan kepsek, Pak Usman- English Club}. Nah,ekskul EEC ini nyumbang drama wat acara yang aku lupa ini. Kawan Lama, ada yang inget ga acara apaan? Bahkan jujur aja ni, aku juga lupa total ma cerita dramanya. Kacau banget ya. Sekali lagi, Kawan Lama, ada yang inget ceritanya apa?

Tapi, satu-satunya yang aku inget, dari drama itu kita nyanyiin lagu Mother tadi.

Ya ya ya, aku tahu itu nggak ada hubungannya sama hari ini yang bertepatan sama hari ibu. Oke! Pertama, aku mau bilang, LOVE YOU FOREVER, MUM! Walaupun aku anak yang menyebalkan, bandel nggak ketulungan, pemales... Oke, oke... Actually, I love you very much, Mum!

Kayak kemarin, aku bener-bener ngerasain cinta ibuku. Aku tahu kemarin ibuku tuh capek banget, tapi ibu tetep nganterin aku pake motor sampe sekolahku...

Dulu banget, aku merasa ibuku kok jauh ya dari aku. Terlalu sibuk sama kerja. Aku kayak ngerasa ibuku nggak sayang lagi sama aku. Aku sering banget nangis diam-diam. Berharap ibuku sama kayak ibu teman-temanku yang stay home dan ngasih perhatian dan deket banget sama mereka. Sampe akhirnya ayahku mergokin aku nangis. Jujur aja, aku termasuk orang yang tertutup banget lho sama orang tua. Dan pada saat itu, aku curhat ma ayahku. Sekali itu aku curhat dari hati yang paling dalam. Semua keluh-kesahku nggak ada yang kuumpetin.

Tapi ayahku malah nyaranin, "Coba deh kamu curhat langsung sama ibu." Awalnya aku kaget banget denger jawaban itu. Aku ngumpet di balik pintu kamar ortuku, dan tiba-tiba ayahku bilang gini, "Bu, kakak mau ngomong."

Terang aku langsung kaget. Aku malu sekaligus takut. Tapi aku tetep maju, nggak berani menatap ibuku yang duduk di tepi tempat tidur nungguin aku. Mataku mulai berkaca-kaca.

"Mau ngomong apa, Kak?" suara ibuku sih biasa aja. Tapi aku tetep aja ngerasa gimanaaaa... gitu. Sebelum aku cerita, air mataku langsung tumpah.

"Kakak mau ibu tetep sayang sama kakak, Neri ma Singgih," kataku langsung sesenggukan. Belum aku selesai, ibuku langsung meluk aku. Nggak pernah aku ngerasa seaman dan senyaman itu dalam pelukan ibuku.

"Ibu sayang sama kalian semua. Sayang banget. Kalo nggak sayang nggak mungkin ibu kerja siang-malam buat kakak, neri, singgih. Ibu sayang kok. Sayang sama semua yang di rumah," kata ibuku. Dari suaranya aku bisa dengar kalo ibuku juga nangis. "Ibu nggak mau kakak terjerumus narkoba, pacaran melampaui batas... Ya Allah, jangan sampai hal itu terjadi. Jangan sampai kakak malu-maluin keluarga..."

Aku nangis sesenggukan, masih di dalam pelukan ibu. Di situ aku ngerti, betapa besarnya cinta ibu untuk keluarga. Kerja pulang jam 10 malem, jam 3 bangun lagi wat nyiapin sarapan. Subhanallah,,, semoga perjuanganmu nggak sia-sia, Bu! Aku berusaha untuk jadi yang terbaik. Cuma kalimat ini yang bisa kuucapkan untukmu,

"Happy Mother's Day and Love You Forever!"

Sabtu, 20 Desember 2008

Chapter 16: Pertemuan Rahasia

Kedua benda itu seukuran telapak tangan kami. Berkilau indah terkena cahaya api obor.

"Ini Kristal Pemanggil," jawab Rama. Ia memberikan pemanggil berbatu hijau kepadaku. Dan yang berbatu biru kepada Yudha. "Pakailah dan usahakan tak ada orang yang tahu tentang benda itu. Jika batu dalam benda itu menyentuh kulit kalian, alat itu akan menyatu dengan kalian dan bisa menginformasikan perasaan dengan orang lain yang memakai Kristal juga. Aku sudah mengaturnya untuk tiga batu, merah dari rubi, milikku; hijau dari giok milik Bethari; dan biru dari safir milik Yudha. Dengar, Kristal Pemanggil ini adalah peninggalan keluarga bangsaku yang terakhir. Yang kalian pakai adalah milik orang tuaku. Aku berusaha menghubungi saudaraku yang memakai Kristal berbatu topaz. Dan tak pernah bisa. Dugaan sementara, Kristal Pemanggilnya terlepas dari tubuhnya atau rusak. Jadi, jaga baik-baik alat itu."

"Bagaimana dengan Gnane?" tanyaku.

"Dia terlalu kecil, Sayang. Tapi aku akan selalu memastikan dia berada di dalam sepatu bootku."

"Bagaimana kami tahu jika benda ini memberikan informasi?" tanya Yudha.

"Ketiga lempeng emas itu akan bergetar dan masuk ke dalam saraf perasamu. Membuatmu bisa merasakan dan membaca pikiran orang yang sedang memanggilmu. Kuharap benda ini masih bekerja dengan baik. Karena aku takut jarak yang terlalu jauh bisa membuat benda itu tak bekerja."

"Wah!" Yudha tampak takjub dan kagum.

"Selain Kristal Pemanggil, kalian juga butuh senjata. Aku tahu kau memiliki bumerang, Yudha. Tunggu di sini," Rama menghilang di balik celah.

"Oh, ya, darimana kau dapatkan bumerang itu?" tanyaku selagi Rama tak ada.

"Ini kenang-kenangan ketika aku mengunjungi Australia lima bulan lalu."

Australia? Di manakah itu? Tiba-tiba Rama masuk. Ia membawa tombak yang waktu itu kupakai untuk mengancamnya. Juga katapel karet bergagang kayu yang dipelitur.

"Nah, Bethari, kini aku resmikan kau menggunakan itu. Tapi sebentar lagi kau akan berlatih dulu denganku," Rama memberikan tombak itu kepadaku. "Dan Yudha, kuharap kau bisa menggunakan katapel dan bumerangmu secara bergantian. Batu-batu umpannya tak akan pernah habis." Yudha menerima katapel itu. "Satu lagi yang terpenting, peta kota pertahanan ini jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Bangsa Kurcaci akan murka jika terjadi hal konyol itu. Dan jika di perjalanan nanti aku mati, kalian tidak boleh terpecah belah. Tetaplah bersama. Ingatlah semua pesanku."

Aku dan Yudha sempat kaget mendengarnya. Sepertinya perjalanan kami akan sangat menegangkan. Siapkah aku menghadapi situasi seperti ini?

"Nah," Rama menarik napas. Ia mengambil Kristal Pemanggil milikku dan mengalungkannya ke leherku. Matanya menaruh harapan besar kepadaku. Perasaanku sangat berat menerima Kristal itu. Rama juga mengalungkan Kristal Pemanggil ke leher Yudha. Sama seperti diriku, Yudha juga menanggung harapan besar.

Aku menatap Tar yang juga menatapku. "Jika aku mati," kata Rama, ia memeluk Tar, "ikuti Tar." Air mata Rama menetes.

"Kak Rama," kata Yudha takut-takut. Rama yang sadar menghapus air matanya yang membasahi kedua pipinya. "Kami baru saja menyadari bahwa kami berasal dari dimensi yang berbeda. Dunia kami berselisih 76 tahun. Bisakah kau menjelaskan?"

"Sebenarnya Parhelion yang menarikmu kemari. Kau tahu, kami tak mengenal perbedaan hari. Karena waktu di sini berjalan sangat lambat. Parhelionlah yang memilih kalian. Mengapa waktu kalian berselisih jauh? Karena mungkin perbedaan waktu itu bisa membantu Kota Perak bangkit. Maaf, aku tak tahu jawaban tepatnya."

Yudha tampak bingung. Namun ia memilih untuk diam. Tiba-tiba suatu pertanyaan melintas begitu saja di benakku.

"Kak Rama, mengapa kurcaci tinggal jauh dari sini?"

"Mereka tidak suka hidup dekat permukaan tanah. Mereka lebih menyukai tinggal jauh di bawah tanah. Baiklah, kalian siap berlatih senjata?"

'Final Destination' part III

Yuhuiii! Kesel banget deh, udah jauh"... Haus... Laper... Panas... Ups, nggak deh. Waktu aku ma Wresti turun dari Kopaja udah ujan. Gara" hawa dingin itulah, HIVku ini langsung agresif! Disaat kejengkelan yang meluap-luap, aku dan Wresti masuk ke dalem Blok M Square. Mau tahu tujuannya?

Sebentar. Sebentar... Eh, di dalem Blok M Square ternyata kosong melompong cuma yang jualan di pinggiran teralis,,, pokoknya kayak di PGC gitu deh. Ih, ilfil banget! Cuma ada Carrefour duan! Karena nggak ada apa-apa yang menarik minat, ya sudah, tujuan utama masuk adalah... Melepaskan HIVku. Hehe... Gratis. Tapi sayang, baru-baru jorok. Sumpah, di dalem bilik tuh pesing abis!

Aku ma Wresti lumayan kecewa dan bingung. Aha! Saksi kunci! Asti! Tanya aja ke dia. Kan dia yang udah nonton di sekitar sini. O iya, sialnya aku, begitu turun dari Kopaja hapequw lowbat. Maka, Wresti menelpon Asti. Ternyata eh ternyata, Asti nontonnya di Blok M Plaza! Gubrak! Brak...! Brak...! Brak...! Dan nanya deh ke Pak Satpam, di manakah Blok M Plaza itu?

Tahu di mana? "Di seberang, Non!" kata si Satpam sambil nunjuk bangunan lain sekitar 700 meter di depan. Beuuuh... Aku ma Wresti sial banget ya! Norak lagi! Maklum...

Untung ujannya udah reda. Cuma gerimis aja. Maka, aku dan Wresti berjalan menuju Final Destination kita Blok M 21 wat nonton City of Ember. Sepanjang jalan antara Blok M Square - Plaza, mata Wresti yang suka banget ma Jepang-Jepangan melotot. Tahu tak kenapa?Yang sering ke Blok M pasti tahu. Di sebelah kanan jalan, dari gerbang tiket parkir mpe bates Blok M Square tuh restoran Jeepaaaaaaaaaaaaang... semua. Unik-unik lagi. Trus, di depan deretan restoran itu ada trotoar lebar ditambah lampu jalanan yang antik. Serasa jalan di luar negeri {sumpah, norak abis} Sayang, hapeku lowbat deh! Coba kalo nggak, narsis mpe baterenya ancur kali. Hehe... Lebai!

Blok M Plaza semakin dekat dan dekat dan akhirnya dan oh! Masuk juga di dalam! Sebelumnya Wresti nanya, "Twenty one lantai berapa?" ke para petugas yang pake topi Santa Claus yang iseng banget pake acara nggeledah tas kita segala.

Niat mau naik lift. Eh, ngantri. Naik eskalator deh sampe tepar. Hehe... Yuhuy! Sampe juga di depan gerbang 21! Di poster 'Hari Ini' ga ada Ember. Tapi kita tetep masuk. Hey, Wres, what time was it? 16.15.
Masih ada waktulah sampe jam 16.35. Karena aku dan Wresti belum makan siang, we had a lunch at Bakso Kota Cak Man kalo ga salah.

Abis makan, tepat jam 16.35, aku dan Wresti udah masuk ke dalam Studio 6. Pas masuk, eh buset, orangnya dikit beud. Bangku depan nggak ada orang. Bangku belakang orangnya jarang-jarang. Sayang, film keren kok yang minat sedikit. Pasti lagi pada demen ma film banok deh. Tapi, buat aku ma Wresti, sori aja buat film ga bermutu kayak gitu pake alasan sex education segala. Halah! Lho, kok ngedumel y? Oke, lanjut!

Filmpun dimulai. Dan aku siap-siap buat membandingkan Skandar Keynes ma Harry Treadaway. Sama-sama dari Inggris nih berdua! Aku berharap, mereka nggak mirip sama sekali. Pas pertama kali aku ngeliat Doon Harrow {Harry Treadaway} dari samping, jantungku langsung berdegup! Skandy! Asti bener! Pas mukanya c Doon disorot, beuuuuh... Muka tua amat c Harry ni. Tau nggak? Umur c Treadaway tuh 24 tahun! Padahal karakter Doon Harrow umurnya 12 tahun! Dua kali lipat! Sementara yang jadi Lina Mayfleet {aku lupa nama aslinya abis susah banget, yang ku inget belakangnya Ronan} mukanya standar ABG. Dan ternyata, umur ci Mss. Ronan ini muda banget, jauh dari c Treadaway, 14 tahun! Tapi mereka cocok.

Selama film diputar, aku merhatiin bahasa Inggrisnya. Anjrit! Lebih susah dari film British kayak HP ma Narnia. Englishnya sama rumitnya ma film LoTR. Weleh weleh... Bagi kupingku, yang dimulut ma transletenya kok beda ya? Hehe... Ternyata, menjelang ending tuh film banyak banget fisikanya. Padahal aku benci banget ma fisika. Durasi sepanjang 94 menit nggak terasa. Soalnya aku puas banget ma film ini. Aku suka banget adegan pas Poppy {adik Lina}, Lina ma Doon meluncur di atas sungai bawah tanah. Paling geli pas ngeliat tikus karnivora yang aneh. Aku suka banget ma karakter Lina Mayfleet yang sayang keluarga. Duh, bingung kalo mau cerita detilnya.

Intinya, kota Ember yang ada di bawah tanah ini pasokan energinya dari generator. Karena generatornya udah tua n hampir rusak {makanya di sana sering mati lampu} dan kedua remaja ini yakin Ember ga bakal bertahan lama lagi, mereka cari jalan keluar dari Ember.

Keluar dari Blok M Plaza, aku merhatiin pemandangan kota di senja hari yang keren. Apalagi pas lewatin depan deretan restoran Jepang. Coba kalo hapeku nggak lowbat. Wresti meneruskan tujuannya beli sepatu murah. Eh, pas di ujung deretan restoran, seberangnya, ada toko sepatu. Ke sanalah kita. Sebenernya aku nggak begitu yakin kalo tukang sepatu itu murah. Benar dugaanku! Mana abangnya ngotot banget maksa wresti wat beli. Sampe dia nyuruh Wresti ngutang ma aku. Beuuh...

Akhirnya kita tinggalkan toko sepatu menyebalkan itu. Trus, ke terminal deh. Tukang Sepatu yang bertuliskan OBRAL BARANG BEKAS Rp 35.000. Yeah! Gapapa, aku dan Wresti kan belum bisa cari duit ndiri. Setelah tawar-menawar dan pilih-memilih yang cukup alot, akhirnya Wresti beli juga. Abis beli, kita naik Kopaja 57 deh. Aih... Senangnya pulang.

Mana aku capek banget. Alhamdulillah, dapet tempat duduk lagi. Sekitar jam 8.20 malam, aku sampe di Kramat Jati tempat numpangnya aku selama PKL di RS POLRI. Aku bsyukur selamat, ga kecopetan, dan masih hidup. Alhamdulillah.
The End~^

Jumat, 19 Desember 2008

'Final Destination' Part II

Dor!

Halo! Kita ketemu lagi ya. Baik, aku lanjutkan cerita petualangan norakku ke daerah Jakarta Selatan, hehehe... Sabar dun.

Well, ternyata c Wresti bales smsku. Isinya begini,
"Sbnr'a qw b'ubh fkiran...tp kyak'a u yg gag bsa y???"

Gubrak! Grusak! Grusuk! Prang! Preng! Trang! Trung!

Gara-gara balesannya begitu, aku ma Wresti jadi smsan deh. Yang tadinya niat nonton d Hollywood jadi pilih Blok M. Kita berusaha wat ngerencanain niat kita dengan baik. Sepakat, kita nonton di jam 16.35. Jujur, sejujur-jujurnya, aku juga nggak tahu sama sekali daerah Blok M itu di mana. Tapi, aku langsung inget solusinya. Melinda, teman sekamarku di Wisma Analis selama 3 tahun yang mungkin udah bosen banget ma aku tapi dia pasti bakal kangen aku adalah solusinya. Tanya aja ma dia, ke Blok M dari Pasar Rebo naik angkot berapa. Hehehe...

Malemnya, Wresti bener-bener bikin aku pengen banget nonton Ember. Pas lagi online di MXit, ketemu ma Asti! Wah, kebetulan! Dia kan udah nonton di sana. Aku interogasi dia deh. Eh, tapi Asti malah nyaranin aku nunggu keluar aja di Cibubur ma Tamini. Beuuuh...

Malam berganti pagi. Kamis yang kutunggu-tunggu pun tiba. Alhamdulillah, Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup. Paginya, aku konsultasi ma Melinda. Jawabannya, intinya sama kayak Asti. Dia nyuruh aku cari bioskop lain yang lebih deketan. Sayang, City of Ember emang tinggal di mal-mal gede doang. Ya udah, akhirnya Melinda dan Yuli, teman sekelasku menyarankan untuk janjian sama Wresti di PGC. Dari situ, naik deh the only one Kopaja yang lewat lamer Cililitan. Karena, kopaja itu berhenti tepat di Blok M.

Jam 7.11 aku sms Wresti wat memastikan rencana. Mantab! Wresti siap. Tapi lum tau jam berapa berangkat karena tergantung pada diriku, jam berapa selesai PKLnya.

Selama aku bekerja di laboratorium patologi klinik rumkit polpus rs sukanto, aku nggak lepas dari ponsel. Nah, akhirnya jam 12! Kenapa? Karena lab tutup untuk umum. Tapi aku belum bernapas lega karena masih ada beberapa pemeriksaan. Sekitar jam 12.30 lewat, aku udah nggak sabar. Ternyata masih banyak kerjaan. Sekitar jam setengah 2an dan yakin situasi udah nggak sibuk lagi, aku sms Wresti suruh dia berangkat.

Sekitar jam setengah 3 kurang, aku udah stand by di bawah jembatan penyeberangan PGC sambil nunggu Kopaja yang dimaksud Melinda. Tapi kok nggak ada yang dari arah UKI ya? Ternyata eh ternyata, Kopajanya jurusan Blok M - Kp. Rambutan. Beeuuuh...

Aaakh! Itu dia Wresti lagi turun dari jembatan penyebrangan. Sial! Gara-gara Kopajanya dari arah Jalan Raya Bogor, aku ma Wresti nyeberang lagi deh. Mana nunggu Kopaja lama banget, panas, HIV, haus, laper, ngantuk... Yeeee... Senangnya! Kopaja datang! Aku ma Wresti sampe lari"an lho ngejar tuh Kopaja.

Akhirnya... Alhamdulillah... Dapet tempat duduk lagi! Walaupun awalnya mesti diri dulu, hehehe...

Selama perjalanan, aku memandangi kota Jakarta yang megah. Tapi kok daritadi nggak liat tuh gedung-gedung pencakar langit {aduh, norak banget ya. Jangan tiru kelakuan saya ya! Hehe...}. Ini sih sama aja kayak jalan-jalan di Munjul dan sekitarnya. Sekalinya nemu tuh gedung tinggi, eh Kopajanya malah belok. Ya sudahlah.

Entah kenapa dan tiba-tiba, Kopaja ma Metromini kok pada macet ya. Aha! Ternyata udah sampe terminal tho. Tapi ngantri masuk terminalnya. Sambil ngurangin bete, aku ma Wresti liat-liat barang yang dijual sama Pedagang Kaki Lima. Eh, ada yang jual sepatu dengan tulisan 'OBRAL BARANG BEKAS Rp 35.000'

Aku ci lumayan tertarik. Wresti yang lagi ngidam sepatu langsung melotot. Dia langsung bilang, "Veb, nanti ke sini dulu ya!"

Oke! Dengan senang hati, Kawan!

Dari dalam kopaja, aku udah liat gedung gede. Blok M Square! Aku ma Wresti turun deh dari Kopaja. Kita masuk ke wilayah Pasar trus keluar dan menatap bangunan baru yang gede di depan mata. Jam baru menunjukkan 15.38. Rasanya nggak sabar banget buat beli tiket nonton. Maka, pas kita ke pintu masuk, Wresti langsung nanya ke Satpamnya, "Twenty one lantai berapa?"

"Waduh," Satpamnya ngeluh gitu, "ada c di lantai 6, tapi belum beroperasi tuh, Mbak."

Deng! Deng!

Aku ma Wresti saling pandang. Ternyata oh ternyata... Jauh-jauh ke mari malah... Humphf... Pupuslah harapanku...

Coba tebak! Aku ma Wresti jadi nonton ga?

Kamis, 18 Desember 2008

'Final Destination' part I

Hey, hey, hey... Halo semua! Quw mau cerita tentang hari ini yang sangat-sangat... Hmmm... Mungkin kata yang tepat adalah...

Melelahkan.

Oke, oke! Dilatarbelakangi keinginan yang kuat wat nonton City of Ember sebelum rilisnya Twilight di Indonesia, quw ngajak temen-temen sekelasku 3 CD tersayang wat nobar. Sayang, cuma anak-anak penggemar fantasy stories yang berminat. Lagipula, waktu itu diputarnya masih di mal-mal besar Jakarta. Belum sampe Jakarta pinggiran, hehehe... Waktu itu sekitar pertengahan November n lagi gencar-gencarnya iklan Twilight the Movie di internet. Tapi ga ada minat nonton Twilight tuh.

Oke, karena jadwal di sekolah pulangnya malem mulu dan kita nungguin City of Ember keluar di Cibubur 21, Cijantung, n Tamini, jadinya kita nggak mikirin dulu. Pas quw liat Kompas edisi hari Rabu tanggal 10 Desember, Twilight lagi ngetrend banget. Waduh, w harus nonton City of Ember sebelum kegusur n kalah pamor ama Twilight.

Ember kok ditonton. Minat pertama karena kayaknya yang main kok mirip Skandar Keynes. Kedua karena latarnya kota di bawah tanah. Kan unik. Hehe...

Eh, tiba-tiba Asti udah nonton di Blok M. Dan Sabtu kemarin dia manas-manasin quw wat nonton. Penasaran deh. Apalagi Asti mpe bilang kalo pemeran utamanya hampir mirip tapi lebih cakep dari Keynes. Wah, ga percaya tuh! Skandar Keynes tuh udah yang paling ganteng bagi quw... {yah, gimana ya tampang Arab-Inggris gitu... Btw, pada tau Skandar Keynes kan? Itu lho, Skandy, c pemeran Edmund Pevensie di Narnia.}

Maka, malam minggu pun aku browsing nyari bioskop yang masih muter tuh film. Aha! Banyak pilihan! Masalahnya, nggak ada yang kutahu selain yang di pinggiran Jakarta. Hehehe... Hollywood tau soalnya deket ma RS Gatot Subroto. Tapi ragu juga ma HTMnya. Di internet c HTMnya 15rb. Tapi nggak yakin. Tapi tetep Minggu kan masuk tuh, quw ma Wresti bermusyarah. Sepakat di Hollywood minggu ini tapi tergantung jadwal PKL.

Kemarin siang, Rabu, pas quw lagi sibuk PKL, Wresti sms w. Isi smsnya,
'Ipeb...mufin qw hyua...kyak'a qw tak bsa de...qw tak tw jalan...'
Well, sedikit kecewa juga cii... Tapi tiba" quw punya ide lain. Berarti uangku masih ada. Itu artinya quw bisa beli vcd Prince Caspian yang baru rilis, hehe... Yeee... Senangnya! Bakal liat Skandy mpe puas deh! Aku bales sms Wresti sekitar jam 2an pas pulang dari PKL.

'Ya udah, gpp. Berarti quw beli Prince Caspian. Ntar qt nobar ja d kelas. Gmana?'

Tapi tau nggak jawaban Wresti apa? Berhubung w kecapekan, kita bersambung, thatha! Tunggu selanjutnya!