Rabu, 24 Desember 2008

Chapter 17: Misteri yang Tak Menyenangkan

Aku dan Yudha saling melirik. Yudha tersenyum padaku sambil mengangguk.

"Kami siap!"

"Bagus! Yudha, kau pertama. Aku akan mengajarimu cara menggunakan katapel ini. O iya, batunya!" Rama mengeluarkan kantung kecil berisi batu putih seukuran mutiara. Ia mengambil tiga butir lalu mengikatkan kantung itu di ikat pinggang Yudha. "Perhatikan!" Rama mengambil ketapel, memasang batunya, memfokuskan sasaran yang berupa dinding batu berukir lingkaran, lalu menembak dan dinding batu itu langsung berlubang cukup dalam tepat di tengah-tengah lingkaran. Rama melempar senyumya ke arah kami. Yudha menatapnya takjub. "Cobalah."

Yudha maju. Mengambil katapel dan batu dari tangan Rama, lalu memasangnya. Lalu ia memfokuskan sasarannya di lingkaran samping lingkaran sasaran Rama. Apakah Yudha berhasil? Mungkin jawaban yang tepat adalah hampir berhasil. Ia berhasil membuat lubang tapi tidak tepat di tengah.

"Bagus!" puji Rama. Yudha tersenyum padanya. "Teruslah berlatih." Mata Rama berpindah menatapku. "Sekarang giliranmu."

Rama mengambil tombak miliknya. Aku memperhatikan tombak pemberian Rama ini. Terbuat dari kayu dan dipernis hitam mengkilap dengan ukiran ornamen yang rumit. Ujung tombak sangat runcing dan aku menyadari ujungnya terbuat dari perak.

"Perak itu mengandung racun yang sangat mematikan jika menusuk kulitmu. Maka, berhati-hatilah. Baik, perhatikan caraku memainkan tombak ini."

Rama memainkan tombaknya yang ujungnya tumpul dengan satu tangan, tangan kanannya. Ia mengayunkan tombaknya, bersikap menangkis, memukul angin, dan memeragakan menusuk udara kosong dengan lincah. Aku sempat bingung dibuatnya. Lalu aku berlatih langsung dengannya. Aku menangkis dengan tombakku, menahan serangan, berusaha menyerang balik, berusaha memukulnya, tapi Rama terlalu mahir dan gerakanku masih sangat lambat. Biarpun begitu, ia berhasil membakar semangatku. Kami terus berlatih. Begitupun Yudha yang sudah enam kali menembak tepat sasaran dengan ketapelnya.

Peluhku mulai membasahi pakaianku. Walaupun cukup lelah, aku tetap berlatih. Aku belum berhasil melumpuhkan pertahanan Rama. Ketika Rama menyerang tangan kananku, aku berkilah dan menangkis tombak Rama sekuat tenaga, dan akhirnya, tombak Rama jatuh. Aku berhasil.

"Bagus sekali, Beth!" seru Rama.

"Apa tak berlebihan, Rama?" Gnane muncul secara tiba-tiba dari pintu utama. "Kita bukan pergi untuk berperang."

Pakaian Gnane tampak seperti biasanya. Yudha langsung bersembunyi di balik tubuh Rama yang tinggi besar begitu ia menyadari kehadiran Gnane.

"Aku hanya melatih pertahanan diri mereka. Bukan untuk perang, Gnane. Bahaya mengancam di manapun," jawab Rama santai.

"Baiklah. Hei, Bocah! Apa yang kaulakukan di belakang Rama?" tanya Gnane yang belum mengetahui kelemahan Yudha.

"Bethari," bisik Yudha. Rama tersenyum melihat Yudha. "Dia bukan jengglot, kan?"

Aku tertawa. Lalu menarik Yudha keluar dari persembunyiannya. Yudha sempat menahan tarikanku. Dan akhirnya Rama menyingkir sehingga Yudha tak berlindung lagi.

"Kau cowok!" seruku. "Dia gnome. Bukan jengglot."

Yudha yang menutup mata mulai mengintip perlahan-lahan, dan akhirnya ia berani membuka matanya.

"Tak perlu takut padaku, Nak, sebelum aku berubah menjadi jengglot. Nah, Ratu dan bangsaku sudah siap untuk berangkat."

"Makanan? Sudah siap?" tanya Rama.

"Semuanya sudah siap. Garuda-mu juga sudah siap."

Aku menunggu keputusan Rama. Air mukanya berubah menjadi murung. Lalu ia menatap aku dan Yudha dengan tatapan penuh kasih sayang, berlutut di antara aku dan Yudha. Ia memegang pundak kami dan berbisik, "Ah, satu pesan penting lagi. Jika aku tak bersama kalian sampai akhir, temuilah para anggota Tiga Fak. Carilah penyebab dan pembuat racun itu. Aku berharap kita selalu bersama hingga akhir."

Entah kenapa pesan-pesan dari Rama selalu membuat perasaan kami takut. Aku menangis. Ketakutan itu membuatku tak mau beranjak. Aku melihat Yudha yang juga ketakutan.

"Mengapa kedengarannya sangat mengerikan?" tanya Yudha di bahu kanan Rama.

"Semoga tak mengerikan seperti yang kau bayangkan."

"Aku takut," bisikku di telinga kiri Rama.

"Ketakutan akan mengacaukan segalanya. Aku yakin, kalian adalah anak-anak pemberani. Parhelion tidak memilih anak-anak penakut," kata Rama sambil perlahan-lahan melepaskan pelukannya. "Berangkatlah bersama Gnane. Aku akan menyusul."

Rama tersenyum kepada kami. Senyum yang berbeda. Aku tahu senyumnya lebih tulus kali ini. Lalu ia dan Tar menghilang di balik celah. Menurutku, ia akan mengambil petanya.

"Nah, anak-anak, siap?" Gnane memecah keheningan. "Dan kau, Pria Muda, bisa membedakan aku dengan Jengglot?"

Aku melirik Yudha yang masih ragu-ragu. "Mungkin," jawabnya pelan.

"Ayo, kalau begitu." Gnane melangkah di depan kami. Aku dan Yudha saling berpandangan, lalu kami mengangguk pasti.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hhooree,,
yang pertama..
Tapi nGag gak ngerti postingan'na..
hhee..