Sabtu, 20 Desember 2008

Chapter 16: Pertemuan Rahasia

Kedua benda itu seukuran telapak tangan kami. Berkilau indah terkena cahaya api obor.

"Ini Kristal Pemanggil," jawab Rama. Ia memberikan pemanggil berbatu hijau kepadaku. Dan yang berbatu biru kepada Yudha. "Pakailah dan usahakan tak ada orang yang tahu tentang benda itu. Jika batu dalam benda itu menyentuh kulit kalian, alat itu akan menyatu dengan kalian dan bisa menginformasikan perasaan dengan orang lain yang memakai Kristal juga. Aku sudah mengaturnya untuk tiga batu, merah dari rubi, milikku; hijau dari giok milik Bethari; dan biru dari safir milik Yudha. Dengar, Kristal Pemanggil ini adalah peninggalan keluarga bangsaku yang terakhir. Yang kalian pakai adalah milik orang tuaku. Aku berusaha menghubungi saudaraku yang memakai Kristal berbatu topaz. Dan tak pernah bisa. Dugaan sementara, Kristal Pemanggilnya terlepas dari tubuhnya atau rusak. Jadi, jaga baik-baik alat itu."

"Bagaimana dengan Gnane?" tanyaku.

"Dia terlalu kecil, Sayang. Tapi aku akan selalu memastikan dia berada di dalam sepatu bootku."

"Bagaimana kami tahu jika benda ini memberikan informasi?" tanya Yudha.

"Ketiga lempeng emas itu akan bergetar dan masuk ke dalam saraf perasamu. Membuatmu bisa merasakan dan membaca pikiran orang yang sedang memanggilmu. Kuharap benda ini masih bekerja dengan baik. Karena aku takut jarak yang terlalu jauh bisa membuat benda itu tak bekerja."

"Wah!" Yudha tampak takjub dan kagum.

"Selain Kristal Pemanggil, kalian juga butuh senjata. Aku tahu kau memiliki bumerang, Yudha. Tunggu di sini," Rama menghilang di balik celah.

"Oh, ya, darimana kau dapatkan bumerang itu?" tanyaku selagi Rama tak ada.

"Ini kenang-kenangan ketika aku mengunjungi Australia lima bulan lalu."

Australia? Di manakah itu? Tiba-tiba Rama masuk. Ia membawa tombak yang waktu itu kupakai untuk mengancamnya. Juga katapel karet bergagang kayu yang dipelitur.

"Nah, Bethari, kini aku resmikan kau menggunakan itu. Tapi sebentar lagi kau akan berlatih dulu denganku," Rama memberikan tombak itu kepadaku. "Dan Yudha, kuharap kau bisa menggunakan katapel dan bumerangmu secara bergantian. Batu-batu umpannya tak akan pernah habis." Yudha menerima katapel itu. "Satu lagi yang terpenting, peta kota pertahanan ini jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Bangsa Kurcaci akan murka jika terjadi hal konyol itu. Dan jika di perjalanan nanti aku mati, kalian tidak boleh terpecah belah. Tetaplah bersama. Ingatlah semua pesanku."

Aku dan Yudha sempat kaget mendengarnya. Sepertinya perjalanan kami akan sangat menegangkan. Siapkah aku menghadapi situasi seperti ini?

"Nah," Rama menarik napas. Ia mengambil Kristal Pemanggil milikku dan mengalungkannya ke leherku. Matanya menaruh harapan besar kepadaku. Perasaanku sangat berat menerima Kristal itu. Rama juga mengalungkan Kristal Pemanggil ke leher Yudha. Sama seperti diriku, Yudha juga menanggung harapan besar.

Aku menatap Tar yang juga menatapku. "Jika aku mati," kata Rama, ia memeluk Tar, "ikuti Tar." Air mata Rama menetes.

"Kak Rama," kata Yudha takut-takut. Rama yang sadar menghapus air matanya yang membasahi kedua pipinya. "Kami baru saja menyadari bahwa kami berasal dari dimensi yang berbeda. Dunia kami berselisih 76 tahun. Bisakah kau menjelaskan?"

"Sebenarnya Parhelion yang menarikmu kemari. Kau tahu, kami tak mengenal perbedaan hari. Karena waktu di sini berjalan sangat lambat. Parhelionlah yang memilih kalian. Mengapa waktu kalian berselisih jauh? Karena mungkin perbedaan waktu itu bisa membantu Kota Perak bangkit. Maaf, aku tak tahu jawaban tepatnya."

Yudha tampak bingung. Namun ia memilih untuk diam. Tiba-tiba suatu pertanyaan melintas begitu saja di benakku.

"Kak Rama, mengapa kurcaci tinggal jauh dari sini?"

"Mereka tidak suka hidup dekat permukaan tanah. Mereka lebih menyukai tinggal jauh di bawah tanah. Baiklah, kalian siap berlatih senjata?"

Tidak ada komentar: