Rabu, 17 Desember 2008

Chapter 15: Dimensi

"Bethari!"

Ada orang yang membangunkanku dari tidurku. Kepalaku masih pening dan aku masih mengantuk. Namun aku tetap memaksakan untuk membuka mataku. Bayangan wajah Yudha hadir di hadapanku. Atau memang diakah? Pandanganku masih agak kabur.

"Bet, apa kau tahu di mana jam tangan dan ponselku?" tanyanya.

Aku masih tak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Mataku masih sangat berat. Maka akupun memejamkan mataku lagi.

"Bethari!" Yudha mengguncang tubuhku dan memaksaku untuk bangun dan duduk. Setelah mataku terbuka, ia bertanya, "Apa kau tahu di mana jam tangan dan ponselku?"

Aku menatap Yudha dengan penampilan yang berbeda. Ia lebih rapi dan pakaiannya bersih. Tapi aku belum pernah melihat pakaian sebagus itu. Celananya pun bahannya cukup keras dan berwarna biru tua. Wajahnya pun tak kumal seperti pertama kali aku melihatnya. Yeah. Mungkin aku mengakuinya kalau ia sedikit tampan. Hehe...

"Halo? Apa kau sadar? Sudah bangun atau belum sih?"

Pertanyaanya membuatku tersadar. "Kenapa?"

Yudha mundur beberapa langkah dengan wajah kesal. Ia melipat kedua tangannya.

"Jam tangan dan ponselku, Bet. Apa kau lihat?"

Dahiku mengkerut menanggapi pertanyaannya. "Jam tangan? Setahuku hanya jam dinding. Bagaimana jadinya jam besar diletakkan di tangan? Memangnya kau akan membawa-bawa jammu itu? Heh, konyol sekali."

Yudha tampak heran dan bingung. Lalu tertawa geli sekali. "Kau belum pernah melihat jam tangan?" tanyanya. "Juga ponsel?"

"Apa itu?" Tawa Yudha semakin keras. Sementara aku semakin merasa asing dan aneh. Seperti ada sesuatu yang aneh. Dan tiba-tiba tawa Yudha berhenti dan ia menatapku dengan tatapan bingung.

"Dari mana kau berasal?"

"Desa Kawali. Kau?"

"Jakarta. Desa Kawali? Di mana itu?"

"A-a aku... Aku tak tahu. Tapi sepertinya aku pernah dengar Jakarta."

"Tidakkah kau sekolah?"

"Sekolah? Dengan apa aku berangkat ke sana? Hutan belantara terbentang luas antara sekolah dan desaku. Hanya ada satu sekolah di kota kata ibuku. Bahkan aku tak tahu di mana kota itu. Tak ada seorang pun yang sekolah di antara teman-temanku. Aku saja tak bisa membaca atau menulis."

Yudha takjub mendengarnya. Ia mendekat.

"Bagaimana aku sekolah jika Belanda saja masih mengintai?"

Mata Yudha terbelalak. "Kau datang dari tahun berapa?"

Aku tersentak. Aku? Dari tahun berapa? Apakah Yudha dari masa depan?

"1933. Kau?"

Yudha takjub. "Aku dari 2009."

Kali ini aku yang takjub. "Kukira tidak ada tahun 2000. Kukira dunia sudah Kiamat. B-b-bagaimana bisa?" aku tak mempercayainya.

Di tengah kebingungan itu, Rama muncul tiba-tiba bersama Tar. Gnane tak terlihat. Wajah Rama tampak lebih menyenangkan.

"Sudah bangun, Bethari? Sebaiknya kau membersihkan dirimu dan berganti pakaian. Aku akan membantumu membersihkan pakaian. Setelah itu, kita sarapan."

Kamar kecil Rama sangat rapi dan indah. Curah air muncul dari langit-langit dan sesuatu sejenis buah berbentuk bulat emas seperti duku mengeluarkan harum yang wangi. Di samping kananku, ada bak batu untuk berendam.

Pakaianku kembali rapi dan bersih. Rama memberiku sepasang sepatu kayu yang ringan dan tahan air. Ia juga memberiku pakaian hangat dari kulit.

Sarapan kami hanya dua cawan madu batu dan secawan besar buah anggur merah yang manis. Ternyata tanaman rambat yang kulihat di dinding batu tempo hari adalah anggur.

"Bethari, Yudha, hari ini kita akan melakukan perjalanan besar yang penuh dengan ancaman dan bahaya," kata Rama seusai kami sarapan. "Untuk berjaga-jaga, aku akan memberikan kalian ini."

Rama menunjukkan dua benda berbentuk seperti anak kunci besar yang bening seperti berlian. Masing-masing, di tengah kepala benda itu ada batu permata cantik berwarna biru dan hijau. Di sekeliling batu permata itu, terdapat tiga lempeng emas kecil. Dan di ujung kedua benda itu terdapat tali yang cukup panjang untuk dijadikan kalung.

"Apa itu, Kak Rama?" tanya kami bersamaan.

- to be continued

Tidak ada komentar: