
Aha!
Ide itu terlintas begitu saja di benakku. Pintu rahasia di dinding! Aku mendekat ke dinding batu yang gelap. Mendekatkan obor untuk menerangi dinding. Mencari garis-garis tipis. Sementara si anak itu duduk di lantai sambil memejamkan matanya. Kasihan. Ia pasti lapar dan lelah sekali.
Aku melanjutkan pencarianku sampai... sampai aku... menemukan suatu lambang berbentuk lingkaran dengan garis pendek yang bercabang dua di bawah lingkaran. Lalu aku menyisir pandanganku lagi dan... bagus! Ditemukan! Sayangnya, pintu itu cukup kecil. Mungkin aku harus berjongkok dulu supaya bisa keluar melalui pintu itu.
Dan aku berusaha membuka pintu itu. Ketika celahnya terbuka sedikit, aku mendengar suara-suara yang cukup ramai. Aku mengintip. Oh, bagus! Kota para Gnome! Lempeng transportasi gnome berdengung, jamur-jamur berkilau yang berwarna-warni, dan ukiran tangga di dinding.
"Hei!" kata salah satu gnome yang sedang menaiki tangga di dinding pintu. "Pintunya bergerak!"
Tiba-tiba ada seseorang yang mendorong pintu sehingga tertutup rapat kembali seperti dinding biasa. Bocah itu!
"Jangan! Aku tak suka dengan pintu itu!" bentaknya. Kali ini aku bisa melihat lingkar matanya yang menghitam dan wajahnya yang sangat pucat. "Aku tak suka mereka," katanya lagi pelan sambil berjalan ke belakangku dan duduk lagi.
Oh! Aku baru ingat kalau bocah ini takut gnome. Yeah! Walaupun sudah dibentak, aku tak marah. Karena aku mengerti kondisinya.
Jadi aku mencari pintu rahasia lain. Kali ini aku beralih ke dinding di seberangku. Meneliti dinding seteliti mungkin.
"Aku sudah memikirkan seperti yang kaulakukan. Tapi gelap total di sini." kata bocah itu.
"Yeah!" sahutku yang masih tetap berkonsentrasi. Ups, ada simbol berbentuk bola kristal dengan pita di atasnya. Aku baru sadar ternyata banyak lambang di depan pintu. Tapi aku tak melihatnya di pintu Rama. Lalu aku meneliti lagi mencari garis pintu. Yeeess! Kali ini pintunya lebih besar. "Aku dapat!" kataku memberi tahu anak itu.
"Wow!" ia bangun dan membantuku membukakan pintu rahasia itu. Berhasil.
Tempat itu sepi dan ia berani keluar, membuatku penasaran.
Luar biasa! Jauh lebih indah daripada daerah lapang ketika pertama kali aku bertemu Gnane. Bentuk ruangan ini sangat unik. Berbentuk segilima dan langit-langitnya tak kelihatan atau memang warna langit-langitnya yang hitam. Dan di setiap sisi dinding batu menempellah lampion kristal dengan permata berwarna-warni di dalamnya. Lampion itu cukup menerangi. Dan di setip sisi dinding pula, terdapat lorong-lorong gelap. Aku mengingat-ingat apakah ada simpang lima di dalam peta. Tapi... Akh! Lupa! Peta itu sendiri juga sangat rumit.
Waaaah... Kau tahu? Dinding batu ini penuh dengan tanaman merambat berwarna-warni. Hei! Aku baru sadar kalau ada sulur yang membentuk suatu huruf atau kaligrafi, oh iya, huruf Jawa kuno. Yang menakjubkan, dari tanaman-tanaman itu ada buah-buah yang memancarkan cahaya. Dan ada bunga-bunga juga yang cantik sekali, menghiasi tepi lorong. Aku tak butuh obor lagi. Meskipun begitu, aku tetap tak bisa melihat langit-langitnya.
"Wow! Apa menurutmu ini tipuan?" Bocah itu juga mengagumi indahnya ruang ini. Lampion di sebelah kami berwarna merah terang. Kuterka, batu di dalamnya pasti akik darah. Di lorong sebelah kananku, lampionnya berwarna hijau karena batu giok di dalamnya. Di lorong ketiga, berwarna biru karena safir. Di lorong keempat lampionnya berwarna keemasan karena batu cempaka kuning. Dan di lorong kelima lampionnya berwarna putih cerah karena batu biduri bulan.
"Kalau semua ini tipuan, bagaimana menurutmu?" sahutku.
Tiba-tiba ada suara-suara gemerisik dari lorong di seberang kami. Aku dan bocah itu saling berpandangan. Sepertinya suara itu berasal dari lorong dengan lampion berwarna biru karena safir.
Kami menanti sumber bunyi itu. Dan lama-kelamaan, kami bisa melihat sedikit siluet makhluk itu.
Makhluk itu berkepala besar dan memiliki dua tanduk. Aku memergoki bocah di sampingku mengeluarkan suatu senjata dari kantong celananya...
-to be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar