Rabu, 24 Desember 2008

Chapter 17: Misteri yang Tak Menyenangkan

Aku dan Yudha saling melirik. Yudha tersenyum padaku sambil mengangguk.

"Kami siap!"

"Bagus! Yudha, kau pertama. Aku akan mengajarimu cara menggunakan katapel ini. O iya, batunya!" Rama mengeluarkan kantung kecil berisi batu putih seukuran mutiara. Ia mengambil tiga butir lalu mengikatkan kantung itu di ikat pinggang Yudha. "Perhatikan!" Rama mengambil ketapel, memasang batunya, memfokuskan sasaran yang berupa dinding batu berukir lingkaran, lalu menembak dan dinding batu itu langsung berlubang cukup dalam tepat di tengah-tengah lingkaran. Rama melempar senyumya ke arah kami. Yudha menatapnya takjub. "Cobalah."

Yudha maju. Mengambil katapel dan batu dari tangan Rama, lalu memasangnya. Lalu ia memfokuskan sasarannya di lingkaran samping lingkaran sasaran Rama. Apakah Yudha berhasil? Mungkin jawaban yang tepat adalah hampir berhasil. Ia berhasil membuat lubang tapi tidak tepat di tengah.

"Bagus!" puji Rama. Yudha tersenyum padanya. "Teruslah berlatih." Mata Rama berpindah menatapku. "Sekarang giliranmu."

Rama mengambil tombak miliknya. Aku memperhatikan tombak pemberian Rama ini. Terbuat dari kayu dan dipernis hitam mengkilap dengan ukiran ornamen yang rumit. Ujung tombak sangat runcing dan aku menyadari ujungnya terbuat dari perak.

"Perak itu mengandung racun yang sangat mematikan jika menusuk kulitmu. Maka, berhati-hatilah. Baik, perhatikan caraku memainkan tombak ini."

Rama memainkan tombaknya yang ujungnya tumpul dengan satu tangan, tangan kanannya. Ia mengayunkan tombaknya, bersikap menangkis, memukul angin, dan memeragakan menusuk udara kosong dengan lincah. Aku sempat bingung dibuatnya. Lalu aku berlatih langsung dengannya. Aku menangkis dengan tombakku, menahan serangan, berusaha menyerang balik, berusaha memukulnya, tapi Rama terlalu mahir dan gerakanku masih sangat lambat. Biarpun begitu, ia berhasil membakar semangatku. Kami terus berlatih. Begitupun Yudha yang sudah enam kali menembak tepat sasaran dengan ketapelnya.

Peluhku mulai membasahi pakaianku. Walaupun cukup lelah, aku tetap berlatih. Aku belum berhasil melumpuhkan pertahanan Rama. Ketika Rama menyerang tangan kananku, aku berkilah dan menangkis tombak Rama sekuat tenaga, dan akhirnya, tombak Rama jatuh. Aku berhasil.

"Bagus sekali, Beth!" seru Rama.

"Apa tak berlebihan, Rama?" Gnane muncul secara tiba-tiba dari pintu utama. "Kita bukan pergi untuk berperang."

Pakaian Gnane tampak seperti biasanya. Yudha langsung bersembunyi di balik tubuh Rama yang tinggi besar begitu ia menyadari kehadiran Gnane.

"Aku hanya melatih pertahanan diri mereka. Bukan untuk perang, Gnane. Bahaya mengancam di manapun," jawab Rama santai.

"Baiklah. Hei, Bocah! Apa yang kaulakukan di belakang Rama?" tanya Gnane yang belum mengetahui kelemahan Yudha.

"Bethari," bisik Yudha. Rama tersenyum melihat Yudha. "Dia bukan jengglot, kan?"

Aku tertawa. Lalu menarik Yudha keluar dari persembunyiannya. Yudha sempat menahan tarikanku. Dan akhirnya Rama menyingkir sehingga Yudha tak berlindung lagi.

"Kau cowok!" seruku. "Dia gnome. Bukan jengglot."

Yudha yang menutup mata mulai mengintip perlahan-lahan, dan akhirnya ia berani membuka matanya.

"Tak perlu takut padaku, Nak, sebelum aku berubah menjadi jengglot. Nah, Ratu dan bangsaku sudah siap untuk berangkat."

"Makanan? Sudah siap?" tanya Rama.

"Semuanya sudah siap. Garuda-mu juga sudah siap."

Aku menunggu keputusan Rama. Air mukanya berubah menjadi murung. Lalu ia menatap aku dan Yudha dengan tatapan penuh kasih sayang, berlutut di antara aku dan Yudha. Ia memegang pundak kami dan berbisik, "Ah, satu pesan penting lagi. Jika aku tak bersama kalian sampai akhir, temuilah para anggota Tiga Fak. Carilah penyebab dan pembuat racun itu. Aku berharap kita selalu bersama hingga akhir."

Entah kenapa pesan-pesan dari Rama selalu membuat perasaan kami takut. Aku menangis. Ketakutan itu membuatku tak mau beranjak. Aku melihat Yudha yang juga ketakutan.

"Mengapa kedengarannya sangat mengerikan?" tanya Yudha di bahu kanan Rama.

"Semoga tak mengerikan seperti yang kau bayangkan."

"Aku takut," bisikku di telinga kiri Rama.

"Ketakutan akan mengacaukan segalanya. Aku yakin, kalian adalah anak-anak pemberani. Parhelion tidak memilih anak-anak penakut," kata Rama sambil perlahan-lahan melepaskan pelukannya. "Berangkatlah bersama Gnane. Aku akan menyusul."

Rama tersenyum kepada kami. Senyum yang berbeda. Aku tahu senyumnya lebih tulus kali ini. Lalu ia dan Tar menghilang di balik celah. Menurutku, ia akan mengambil petanya.

"Nah, anak-anak, siap?" Gnane memecah keheningan. "Dan kau, Pria Muda, bisa membedakan aku dengan Jengglot?"

Aku melirik Yudha yang masih ragu-ragu. "Mungkin," jawabnya pelan.

"Ayo, kalau begitu." Gnane melangkah di depan kami. Aku dan Yudha saling berpandangan, lalu kami mengangguk pasti.

Senin, 22 Desember 2008

Orang yang Paling Kucintai

Ada yang inget lagu ini?

Mother, how are you today?
Here is a note from your daughter
With me everything's OK
Mother, how are you today?

Mother, don't worry, I'm fine
Promise to see you this summer
This time there will be no delay
Mother, how are you today?

I found the man of my dreams
Next time you will get to know him
Many things happened while I was away
Mother, how are you today?

Lagu ini punya kenangan khusus waktu aku masih kelas 1 SMP kalo nggak salah {pikunnya udah kronis}. Aku lupa tepatnya perayaan apa waktu itu {maklum, penyakit pikunku semakin parah dahsyat, ada yang bisa ngingetin, Teman Lama?} tapi pas zaman itu skulku ngebentuk EEC {Estusi-nama sebutan smpq yg dikasih ma mantan kepsek, Pak Usman- English Club}. Nah,ekskul EEC ini nyumbang drama wat acara yang aku lupa ini. Kawan Lama, ada yang inget ga acara apaan? Bahkan jujur aja ni, aku juga lupa total ma cerita dramanya. Kacau banget ya. Sekali lagi, Kawan Lama, ada yang inget ceritanya apa?

Tapi, satu-satunya yang aku inget, dari drama itu kita nyanyiin lagu Mother tadi.

Ya ya ya, aku tahu itu nggak ada hubungannya sama hari ini yang bertepatan sama hari ibu. Oke! Pertama, aku mau bilang, LOVE YOU FOREVER, MUM! Walaupun aku anak yang menyebalkan, bandel nggak ketulungan, pemales... Oke, oke... Actually, I love you very much, Mum!

Kayak kemarin, aku bener-bener ngerasain cinta ibuku. Aku tahu kemarin ibuku tuh capek banget, tapi ibu tetep nganterin aku pake motor sampe sekolahku...

Dulu banget, aku merasa ibuku kok jauh ya dari aku. Terlalu sibuk sama kerja. Aku kayak ngerasa ibuku nggak sayang lagi sama aku. Aku sering banget nangis diam-diam. Berharap ibuku sama kayak ibu teman-temanku yang stay home dan ngasih perhatian dan deket banget sama mereka. Sampe akhirnya ayahku mergokin aku nangis. Jujur aja, aku termasuk orang yang tertutup banget lho sama orang tua. Dan pada saat itu, aku curhat ma ayahku. Sekali itu aku curhat dari hati yang paling dalam. Semua keluh-kesahku nggak ada yang kuumpetin.

Tapi ayahku malah nyaranin, "Coba deh kamu curhat langsung sama ibu." Awalnya aku kaget banget denger jawaban itu. Aku ngumpet di balik pintu kamar ortuku, dan tiba-tiba ayahku bilang gini, "Bu, kakak mau ngomong."

Terang aku langsung kaget. Aku malu sekaligus takut. Tapi aku tetep maju, nggak berani menatap ibuku yang duduk di tepi tempat tidur nungguin aku. Mataku mulai berkaca-kaca.

"Mau ngomong apa, Kak?" suara ibuku sih biasa aja. Tapi aku tetep aja ngerasa gimanaaaa... gitu. Sebelum aku cerita, air mataku langsung tumpah.

"Kakak mau ibu tetep sayang sama kakak, Neri ma Singgih," kataku langsung sesenggukan. Belum aku selesai, ibuku langsung meluk aku. Nggak pernah aku ngerasa seaman dan senyaman itu dalam pelukan ibuku.

"Ibu sayang sama kalian semua. Sayang banget. Kalo nggak sayang nggak mungkin ibu kerja siang-malam buat kakak, neri, singgih. Ibu sayang kok. Sayang sama semua yang di rumah," kata ibuku. Dari suaranya aku bisa dengar kalo ibuku juga nangis. "Ibu nggak mau kakak terjerumus narkoba, pacaran melampaui batas... Ya Allah, jangan sampai hal itu terjadi. Jangan sampai kakak malu-maluin keluarga..."

Aku nangis sesenggukan, masih di dalam pelukan ibu. Di situ aku ngerti, betapa besarnya cinta ibu untuk keluarga. Kerja pulang jam 10 malem, jam 3 bangun lagi wat nyiapin sarapan. Subhanallah,,, semoga perjuanganmu nggak sia-sia, Bu! Aku berusaha untuk jadi yang terbaik. Cuma kalimat ini yang bisa kuucapkan untukmu,

"Happy Mother's Day and Love You Forever!"

Sabtu, 20 Desember 2008

Chapter 16: Pertemuan Rahasia

Kedua benda itu seukuran telapak tangan kami. Berkilau indah terkena cahaya api obor.

"Ini Kristal Pemanggil," jawab Rama. Ia memberikan pemanggil berbatu hijau kepadaku. Dan yang berbatu biru kepada Yudha. "Pakailah dan usahakan tak ada orang yang tahu tentang benda itu. Jika batu dalam benda itu menyentuh kulit kalian, alat itu akan menyatu dengan kalian dan bisa menginformasikan perasaan dengan orang lain yang memakai Kristal juga. Aku sudah mengaturnya untuk tiga batu, merah dari rubi, milikku; hijau dari giok milik Bethari; dan biru dari safir milik Yudha. Dengar, Kristal Pemanggil ini adalah peninggalan keluarga bangsaku yang terakhir. Yang kalian pakai adalah milik orang tuaku. Aku berusaha menghubungi saudaraku yang memakai Kristal berbatu topaz. Dan tak pernah bisa. Dugaan sementara, Kristal Pemanggilnya terlepas dari tubuhnya atau rusak. Jadi, jaga baik-baik alat itu."

"Bagaimana dengan Gnane?" tanyaku.

"Dia terlalu kecil, Sayang. Tapi aku akan selalu memastikan dia berada di dalam sepatu bootku."

"Bagaimana kami tahu jika benda ini memberikan informasi?" tanya Yudha.

"Ketiga lempeng emas itu akan bergetar dan masuk ke dalam saraf perasamu. Membuatmu bisa merasakan dan membaca pikiran orang yang sedang memanggilmu. Kuharap benda ini masih bekerja dengan baik. Karena aku takut jarak yang terlalu jauh bisa membuat benda itu tak bekerja."

"Wah!" Yudha tampak takjub dan kagum.

"Selain Kristal Pemanggil, kalian juga butuh senjata. Aku tahu kau memiliki bumerang, Yudha. Tunggu di sini," Rama menghilang di balik celah.

"Oh, ya, darimana kau dapatkan bumerang itu?" tanyaku selagi Rama tak ada.

"Ini kenang-kenangan ketika aku mengunjungi Australia lima bulan lalu."

Australia? Di manakah itu? Tiba-tiba Rama masuk. Ia membawa tombak yang waktu itu kupakai untuk mengancamnya. Juga katapel karet bergagang kayu yang dipelitur.

"Nah, Bethari, kini aku resmikan kau menggunakan itu. Tapi sebentar lagi kau akan berlatih dulu denganku," Rama memberikan tombak itu kepadaku. "Dan Yudha, kuharap kau bisa menggunakan katapel dan bumerangmu secara bergantian. Batu-batu umpannya tak akan pernah habis." Yudha menerima katapel itu. "Satu lagi yang terpenting, peta kota pertahanan ini jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Bangsa Kurcaci akan murka jika terjadi hal konyol itu. Dan jika di perjalanan nanti aku mati, kalian tidak boleh terpecah belah. Tetaplah bersama. Ingatlah semua pesanku."

Aku dan Yudha sempat kaget mendengarnya. Sepertinya perjalanan kami akan sangat menegangkan. Siapkah aku menghadapi situasi seperti ini?

"Nah," Rama menarik napas. Ia mengambil Kristal Pemanggil milikku dan mengalungkannya ke leherku. Matanya menaruh harapan besar kepadaku. Perasaanku sangat berat menerima Kristal itu. Rama juga mengalungkan Kristal Pemanggil ke leher Yudha. Sama seperti diriku, Yudha juga menanggung harapan besar.

Aku menatap Tar yang juga menatapku. "Jika aku mati," kata Rama, ia memeluk Tar, "ikuti Tar." Air mata Rama menetes.

"Kak Rama," kata Yudha takut-takut. Rama yang sadar menghapus air matanya yang membasahi kedua pipinya. "Kami baru saja menyadari bahwa kami berasal dari dimensi yang berbeda. Dunia kami berselisih 76 tahun. Bisakah kau menjelaskan?"

"Sebenarnya Parhelion yang menarikmu kemari. Kau tahu, kami tak mengenal perbedaan hari. Karena waktu di sini berjalan sangat lambat. Parhelionlah yang memilih kalian. Mengapa waktu kalian berselisih jauh? Karena mungkin perbedaan waktu itu bisa membantu Kota Perak bangkit. Maaf, aku tak tahu jawaban tepatnya."

Yudha tampak bingung. Namun ia memilih untuk diam. Tiba-tiba suatu pertanyaan melintas begitu saja di benakku.

"Kak Rama, mengapa kurcaci tinggal jauh dari sini?"

"Mereka tidak suka hidup dekat permukaan tanah. Mereka lebih menyukai tinggal jauh di bawah tanah. Baiklah, kalian siap berlatih senjata?"

'Final Destination' part III

Yuhuiii! Kesel banget deh, udah jauh"... Haus... Laper... Panas... Ups, nggak deh. Waktu aku ma Wresti turun dari Kopaja udah ujan. Gara" hawa dingin itulah, HIVku ini langsung agresif! Disaat kejengkelan yang meluap-luap, aku dan Wresti masuk ke dalem Blok M Square. Mau tahu tujuannya?

Sebentar. Sebentar... Eh, di dalem Blok M Square ternyata kosong melompong cuma yang jualan di pinggiran teralis,,, pokoknya kayak di PGC gitu deh. Ih, ilfil banget! Cuma ada Carrefour duan! Karena nggak ada apa-apa yang menarik minat, ya sudah, tujuan utama masuk adalah... Melepaskan HIVku. Hehe... Gratis. Tapi sayang, baru-baru jorok. Sumpah, di dalem bilik tuh pesing abis!

Aku ma Wresti lumayan kecewa dan bingung. Aha! Saksi kunci! Asti! Tanya aja ke dia. Kan dia yang udah nonton di sekitar sini. O iya, sialnya aku, begitu turun dari Kopaja hapequw lowbat. Maka, Wresti menelpon Asti. Ternyata eh ternyata, Asti nontonnya di Blok M Plaza! Gubrak! Brak...! Brak...! Brak...! Dan nanya deh ke Pak Satpam, di manakah Blok M Plaza itu?

Tahu di mana? "Di seberang, Non!" kata si Satpam sambil nunjuk bangunan lain sekitar 700 meter di depan. Beuuuh... Aku ma Wresti sial banget ya! Norak lagi! Maklum...

Untung ujannya udah reda. Cuma gerimis aja. Maka, aku dan Wresti berjalan menuju Final Destination kita Blok M 21 wat nonton City of Ember. Sepanjang jalan antara Blok M Square - Plaza, mata Wresti yang suka banget ma Jepang-Jepangan melotot. Tahu tak kenapa?Yang sering ke Blok M pasti tahu. Di sebelah kanan jalan, dari gerbang tiket parkir mpe bates Blok M Square tuh restoran Jeepaaaaaaaaaaaaang... semua. Unik-unik lagi. Trus, di depan deretan restoran itu ada trotoar lebar ditambah lampu jalanan yang antik. Serasa jalan di luar negeri {sumpah, norak abis} Sayang, hapeku lowbat deh! Coba kalo nggak, narsis mpe baterenya ancur kali. Hehe... Lebai!

Blok M Plaza semakin dekat dan dekat dan akhirnya dan oh! Masuk juga di dalam! Sebelumnya Wresti nanya, "Twenty one lantai berapa?" ke para petugas yang pake topi Santa Claus yang iseng banget pake acara nggeledah tas kita segala.

Niat mau naik lift. Eh, ngantri. Naik eskalator deh sampe tepar. Hehe... Yuhuy! Sampe juga di depan gerbang 21! Di poster 'Hari Ini' ga ada Ember. Tapi kita tetep masuk. Hey, Wres, what time was it? 16.15.
Masih ada waktulah sampe jam 16.35. Karena aku dan Wresti belum makan siang, we had a lunch at Bakso Kota Cak Man kalo ga salah.

Abis makan, tepat jam 16.35, aku dan Wresti udah masuk ke dalam Studio 6. Pas masuk, eh buset, orangnya dikit beud. Bangku depan nggak ada orang. Bangku belakang orangnya jarang-jarang. Sayang, film keren kok yang minat sedikit. Pasti lagi pada demen ma film banok deh. Tapi, buat aku ma Wresti, sori aja buat film ga bermutu kayak gitu pake alasan sex education segala. Halah! Lho, kok ngedumel y? Oke, lanjut!

Filmpun dimulai. Dan aku siap-siap buat membandingkan Skandar Keynes ma Harry Treadaway. Sama-sama dari Inggris nih berdua! Aku berharap, mereka nggak mirip sama sekali. Pas pertama kali aku ngeliat Doon Harrow {Harry Treadaway} dari samping, jantungku langsung berdegup! Skandy! Asti bener! Pas mukanya c Doon disorot, beuuuuh... Muka tua amat c Harry ni. Tau nggak? Umur c Treadaway tuh 24 tahun! Padahal karakter Doon Harrow umurnya 12 tahun! Dua kali lipat! Sementara yang jadi Lina Mayfleet {aku lupa nama aslinya abis susah banget, yang ku inget belakangnya Ronan} mukanya standar ABG. Dan ternyata, umur ci Mss. Ronan ini muda banget, jauh dari c Treadaway, 14 tahun! Tapi mereka cocok.

Selama film diputar, aku merhatiin bahasa Inggrisnya. Anjrit! Lebih susah dari film British kayak HP ma Narnia. Englishnya sama rumitnya ma film LoTR. Weleh weleh... Bagi kupingku, yang dimulut ma transletenya kok beda ya? Hehe... Ternyata, menjelang ending tuh film banyak banget fisikanya. Padahal aku benci banget ma fisika. Durasi sepanjang 94 menit nggak terasa. Soalnya aku puas banget ma film ini. Aku suka banget adegan pas Poppy {adik Lina}, Lina ma Doon meluncur di atas sungai bawah tanah. Paling geli pas ngeliat tikus karnivora yang aneh. Aku suka banget ma karakter Lina Mayfleet yang sayang keluarga. Duh, bingung kalo mau cerita detilnya.

Intinya, kota Ember yang ada di bawah tanah ini pasokan energinya dari generator. Karena generatornya udah tua n hampir rusak {makanya di sana sering mati lampu} dan kedua remaja ini yakin Ember ga bakal bertahan lama lagi, mereka cari jalan keluar dari Ember.

Keluar dari Blok M Plaza, aku merhatiin pemandangan kota di senja hari yang keren. Apalagi pas lewatin depan deretan restoran Jepang. Coba kalo hapeku nggak lowbat. Wresti meneruskan tujuannya beli sepatu murah. Eh, pas di ujung deretan restoran, seberangnya, ada toko sepatu. Ke sanalah kita. Sebenernya aku nggak begitu yakin kalo tukang sepatu itu murah. Benar dugaanku! Mana abangnya ngotot banget maksa wresti wat beli. Sampe dia nyuruh Wresti ngutang ma aku. Beuuh...

Akhirnya kita tinggalkan toko sepatu menyebalkan itu. Trus, ke terminal deh. Tukang Sepatu yang bertuliskan OBRAL BARANG BEKAS Rp 35.000. Yeah! Gapapa, aku dan Wresti kan belum bisa cari duit ndiri. Setelah tawar-menawar dan pilih-memilih yang cukup alot, akhirnya Wresti beli juga. Abis beli, kita naik Kopaja 57 deh. Aih... Senangnya pulang.

Mana aku capek banget. Alhamdulillah, dapet tempat duduk lagi. Sekitar jam 8.20 malam, aku sampe di Kramat Jati tempat numpangnya aku selama PKL di RS POLRI. Aku bsyukur selamat, ga kecopetan, dan masih hidup. Alhamdulillah.
The End~^

Jumat, 19 Desember 2008

'Final Destination' Part II

Dor!

Halo! Kita ketemu lagi ya. Baik, aku lanjutkan cerita petualangan norakku ke daerah Jakarta Selatan, hehehe... Sabar dun.

Well, ternyata c Wresti bales smsku. Isinya begini,
"Sbnr'a qw b'ubh fkiran...tp kyak'a u yg gag bsa y???"

Gubrak! Grusak! Grusuk! Prang! Preng! Trang! Trung!

Gara-gara balesannya begitu, aku ma Wresti jadi smsan deh. Yang tadinya niat nonton d Hollywood jadi pilih Blok M. Kita berusaha wat ngerencanain niat kita dengan baik. Sepakat, kita nonton di jam 16.35. Jujur, sejujur-jujurnya, aku juga nggak tahu sama sekali daerah Blok M itu di mana. Tapi, aku langsung inget solusinya. Melinda, teman sekamarku di Wisma Analis selama 3 tahun yang mungkin udah bosen banget ma aku tapi dia pasti bakal kangen aku adalah solusinya. Tanya aja ma dia, ke Blok M dari Pasar Rebo naik angkot berapa. Hehehe...

Malemnya, Wresti bener-bener bikin aku pengen banget nonton Ember. Pas lagi online di MXit, ketemu ma Asti! Wah, kebetulan! Dia kan udah nonton di sana. Aku interogasi dia deh. Eh, tapi Asti malah nyaranin aku nunggu keluar aja di Cibubur ma Tamini. Beuuuh...

Malam berganti pagi. Kamis yang kutunggu-tunggu pun tiba. Alhamdulillah, Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup. Paginya, aku konsultasi ma Melinda. Jawabannya, intinya sama kayak Asti. Dia nyuruh aku cari bioskop lain yang lebih deketan. Sayang, City of Ember emang tinggal di mal-mal gede doang. Ya udah, akhirnya Melinda dan Yuli, teman sekelasku menyarankan untuk janjian sama Wresti di PGC. Dari situ, naik deh the only one Kopaja yang lewat lamer Cililitan. Karena, kopaja itu berhenti tepat di Blok M.

Jam 7.11 aku sms Wresti wat memastikan rencana. Mantab! Wresti siap. Tapi lum tau jam berapa berangkat karena tergantung pada diriku, jam berapa selesai PKLnya.

Selama aku bekerja di laboratorium patologi klinik rumkit polpus rs sukanto, aku nggak lepas dari ponsel. Nah, akhirnya jam 12! Kenapa? Karena lab tutup untuk umum. Tapi aku belum bernapas lega karena masih ada beberapa pemeriksaan. Sekitar jam 12.30 lewat, aku udah nggak sabar. Ternyata masih banyak kerjaan. Sekitar jam setengah 2an dan yakin situasi udah nggak sibuk lagi, aku sms Wresti suruh dia berangkat.

Sekitar jam setengah 3 kurang, aku udah stand by di bawah jembatan penyeberangan PGC sambil nunggu Kopaja yang dimaksud Melinda. Tapi kok nggak ada yang dari arah UKI ya? Ternyata eh ternyata, Kopajanya jurusan Blok M - Kp. Rambutan. Beeuuuh...

Aaakh! Itu dia Wresti lagi turun dari jembatan penyebrangan. Sial! Gara-gara Kopajanya dari arah Jalan Raya Bogor, aku ma Wresti nyeberang lagi deh. Mana nunggu Kopaja lama banget, panas, HIV, haus, laper, ngantuk... Yeeee... Senangnya! Kopaja datang! Aku ma Wresti sampe lari"an lho ngejar tuh Kopaja.

Akhirnya... Alhamdulillah... Dapet tempat duduk lagi! Walaupun awalnya mesti diri dulu, hehehe...

Selama perjalanan, aku memandangi kota Jakarta yang megah. Tapi kok daritadi nggak liat tuh gedung-gedung pencakar langit {aduh, norak banget ya. Jangan tiru kelakuan saya ya! Hehe...}. Ini sih sama aja kayak jalan-jalan di Munjul dan sekitarnya. Sekalinya nemu tuh gedung tinggi, eh Kopajanya malah belok. Ya sudahlah.

Entah kenapa dan tiba-tiba, Kopaja ma Metromini kok pada macet ya. Aha! Ternyata udah sampe terminal tho. Tapi ngantri masuk terminalnya. Sambil ngurangin bete, aku ma Wresti liat-liat barang yang dijual sama Pedagang Kaki Lima. Eh, ada yang jual sepatu dengan tulisan 'OBRAL BARANG BEKAS Rp 35.000'

Aku ci lumayan tertarik. Wresti yang lagi ngidam sepatu langsung melotot. Dia langsung bilang, "Veb, nanti ke sini dulu ya!"

Oke! Dengan senang hati, Kawan!

Dari dalam kopaja, aku udah liat gedung gede. Blok M Square! Aku ma Wresti turun deh dari Kopaja. Kita masuk ke wilayah Pasar trus keluar dan menatap bangunan baru yang gede di depan mata. Jam baru menunjukkan 15.38. Rasanya nggak sabar banget buat beli tiket nonton. Maka, pas kita ke pintu masuk, Wresti langsung nanya ke Satpamnya, "Twenty one lantai berapa?"

"Waduh," Satpamnya ngeluh gitu, "ada c di lantai 6, tapi belum beroperasi tuh, Mbak."

Deng! Deng!

Aku ma Wresti saling pandang. Ternyata oh ternyata... Jauh-jauh ke mari malah... Humphf... Pupuslah harapanku...

Coba tebak! Aku ma Wresti jadi nonton ga?

Kamis, 18 Desember 2008

'Final Destination' part I

Hey, hey, hey... Halo semua! Quw mau cerita tentang hari ini yang sangat-sangat... Hmmm... Mungkin kata yang tepat adalah...

Melelahkan.

Oke, oke! Dilatarbelakangi keinginan yang kuat wat nonton City of Ember sebelum rilisnya Twilight di Indonesia, quw ngajak temen-temen sekelasku 3 CD tersayang wat nobar. Sayang, cuma anak-anak penggemar fantasy stories yang berminat. Lagipula, waktu itu diputarnya masih di mal-mal besar Jakarta. Belum sampe Jakarta pinggiran, hehehe... Waktu itu sekitar pertengahan November n lagi gencar-gencarnya iklan Twilight the Movie di internet. Tapi ga ada minat nonton Twilight tuh.

Oke, karena jadwal di sekolah pulangnya malem mulu dan kita nungguin City of Ember keluar di Cibubur 21, Cijantung, n Tamini, jadinya kita nggak mikirin dulu. Pas quw liat Kompas edisi hari Rabu tanggal 10 Desember, Twilight lagi ngetrend banget. Waduh, w harus nonton City of Ember sebelum kegusur n kalah pamor ama Twilight.

Ember kok ditonton. Minat pertama karena kayaknya yang main kok mirip Skandar Keynes. Kedua karena latarnya kota di bawah tanah. Kan unik. Hehe...

Eh, tiba-tiba Asti udah nonton di Blok M. Dan Sabtu kemarin dia manas-manasin quw wat nonton. Penasaran deh. Apalagi Asti mpe bilang kalo pemeran utamanya hampir mirip tapi lebih cakep dari Keynes. Wah, ga percaya tuh! Skandar Keynes tuh udah yang paling ganteng bagi quw... {yah, gimana ya tampang Arab-Inggris gitu... Btw, pada tau Skandar Keynes kan? Itu lho, Skandy, c pemeran Edmund Pevensie di Narnia.}

Maka, malam minggu pun aku browsing nyari bioskop yang masih muter tuh film. Aha! Banyak pilihan! Masalahnya, nggak ada yang kutahu selain yang di pinggiran Jakarta. Hehehe... Hollywood tau soalnya deket ma RS Gatot Subroto. Tapi ragu juga ma HTMnya. Di internet c HTMnya 15rb. Tapi nggak yakin. Tapi tetep Minggu kan masuk tuh, quw ma Wresti bermusyarah. Sepakat di Hollywood minggu ini tapi tergantung jadwal PKL.

Kemarin siang, Rabu, pas quw lagi sibuk PKL, Wresti sms w. Isi smsnya,
'Ipeb...mufin qw hyua...kyak'a qw tak bsa de...qw tak tw jalan...'
Well, sedikit kecewa juga cii... Tapi tiba" quw punya ide lain. Berarti uangku masih ada. Itu artinya quw bisa beli vcd Prince Caspian yang baru rilis, hehe... Yeee... Senangnya! Bakal liat Skandy mpe puas deh! Aku bales sms Wresti sekitar jam 2an pas pulang dari PKL.

'Ya udah, gpp. Berarti quw beli Prince Caspian. Ntar qt nobar ja d kelas. Gmana?'

Tapi tau nggak jawaban Wresti apa? Berhubung w kecapekan, kita bersambung, thatha! Tunggu selanjutnya!

Rabu, 17 Desember 2008

Chapter 15: Dimensi

"Bethari!"

Ada orang yang membangunkanku dari tidurku. Kepalaku masih pening dan aku masih mengantuk. Namun aku tetap memaksakan untuk membuka mataku. Bayangan wajah Yudha hadir di hadapanku. Atau memang diakah? Pandanganku masih agak kabur.

"Bet, apa kau tahu di mana jam tangan dan ponselku?" tanyanya.

Aku masih tak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Mataku masih sangat berat. Maka akupun memejamkan mataku lagi.

"Bethari!" Yudha mengguncang tubuhku dan memaksaku untuk bangun dan duduk. Setelah mataku terbuka, ia bertanya, "Apa kau tahu di mana jam tangan dan ponselku?"

Aku menatap Yudha dengan penampilan yang berbeda. Ia lebih rapi dan pakaiannya bersih. Tapi aku belum pernah melihat pakaian sebagus itu. Celananya pun bahannya cukup keras dan berwarna biru tua. Wajahnya pun tak kumal seperti pertama kali aku melihatnya. Yeah. Mungkin aku mengakuinya kalau ia sedikit tampan. Hehe...

"Halo? Apa kau sadar? Sudah bangun atau belum sih?"

Pertanyaanya membuatku tersadar. "Kenapa?"

Yudha mundur beberapa langkah dengan wajah kesal. Ia melipat kedua tangannya.

"Jam tangan dan ponselku, Bet. Apa kau lihat?"

Dahiku mengkerut menanggapi pertanyaannya. "Jam tangan? Setahuku hanya jam dinding. Bagaimana jadinya jam besar diletakkan di tangan? Memangnya kau akan membawa-bawa jammu itu? Heh, konyol sekali."

Yudha tampak heran dan bingung. Lalu tertawa geli sekali. "Kau belum pernah melihat jam tangan?" tanyanya. "Juga ponsel?"

"Apa itu?" Tawa Yudha semakin keras. Sementara aku semakin merasa asing dan aneh. Seperti ada sesuatu yang aneh. Dan tiba-tiba tawa Yudha berhenti dan ia menatapku dengan tatapan bingung.

"Dari mana kau berasal?"

"Desa Kawali. Kau?"

"Jakarta. Desa Kawali? Di mana itu?"

"A-a aku... Aku tak tahu. Tapi sepertinya aku pernah dengar Jakarta."

"Tidakkah kau sekolah?"

"Sekolah? Dengan apa aku berangkat ke sana? Hutan belantara terbentang luas antara sekolah dan desaku. Hanya ada satu sekolah di kota kata ibuku. Bahkan aku tak tahu di mana kota itu. Tak ada seorang pun yang sekolah di antara teman-temanku. Aku saja tak bisa membaca atau menulis."

Yudha takjub mendengarnya. Ia mendekat.

"Bagaimana aku sekolah jika Belanda saja masih mengintai?"

Mata Yudha terbelalak. "Kau datang dari tahun berapa?"

Aku tersentak. Aku? Dari tahun berapa? Apakah Yudha dari masa depan?

"1933. Kau?"

Yudha takjub. "Aku dari 2009."

Kali ini aku yang takjub. "Kukira tidak ada tahun 2000. Kukira dunia sudah Kiamat. B-b-bagaimana bisa?" aku tak mempercayainya.

Di tengah kebingungan itu, Rama muncul tiba-tiba bersama Tar. Gnane tak terlihat. Wajah Rama tampak lebih menyenangkan.

"Sudah bangun, Bethari? Sebaiknya kau membersihkan dirimu dan berganti pakaian. Aku akan membantumu membersihkan pakaian. Setelah itu, kita sarapan."

Kamar kecil Rama sangat rapi dan indah. Curah air muncul dari langit-langit dan sesuatu sejenis buah berbentuk bulat emas seperti duku mengeluarkan harum yang wangi. Di samping kananku, ada bak batu untuk berendam.

Pakaianku kembali rapi dan bersih. Rama memberiku sepasang sepatu kayu yang ringan dan tahan air. Ia juga memberiku pakaian hangat dari kulit.

Sarapan kami hanya dua cawan madu batu dan secawan besar buah anggur merah yang manis. Ternyata tanaman rambat yang kulihat di dinding batu tempo hari adalah anggur.

"Bethari, Yudha, hari ini kita akan melakukan perjalanan besar yang penuh dengan ancaman dan bahaya," kata Rama seusai kami sarapan. "Untuk berjaga-jaga, aku akan memberikan kalian ini."

Rama menunjukkan dua benda berbentuk seperti anak kunci besar yang bening seperti berlian. Masing-masing, di tengah kepala benda itu ada batu permata cantik berwarna biru dan hijau. Di sekeliling batu permata itu, terdapat tiga lempeng emas kecil. Dan di ujung kedua benda itu terdapat tali yang cukup panjang untuk dijadikan kalung.

"Apa itu, Kak Rama?" tanya kami bersamaan.

- to be continued

Sabtu, 13 Desember 2008

Crush?

Hehe... Well...
Ouch!
Hey, hey, hey...
What happen?
Am I crazy?
Oh, no!
Look, this is about my past story.
Eleven years ago, I moved to this village. I got new friend. And neighbour of course. But, til this day I never say hi or how are u to 'him'! Why?

Ryte, maybe he was my enemy in my past. We never get a peace! And... I realize that he is sooo... cool, guys! Really. But, what a pitty of me! We, he and me, never talk each other.

Smile! Yeah, I remember! He gave me a smile. But it a looooong tiiimee ago... When he and me had a new baby in our family. He had a girl. And me, a boy. When I was grade sixth elementary school. He touched my brother and smiled! I knew, he gave her smiled for my bro. Oh, when Idul Fitri! Yeah! He smiled to me... :)

We never talk each other. Perhaps I am too shy. Or he? Yeah! But I wish we could be nice friend. Just NICE FRIEND! Maybe I have a crush on him. Hahaha... Thats real LOL!

But, I just want to be his friend...

Jumat, 12 Desember 2008

Chapter 14: Tombak yang Tak Patah

Aku harap-harap cemas menanti jawaban Ratu. Cukup lama ia terdiam. Atau dia sudah menjawabnya dengan bisikan? Aku melirik Gnane sinis. Apa yang dikatakan Yudha dan orang bunian tentang tipuan benar? Jantungku berdegup semakin kencang. Bagaimana kalau nasibku dan Yudha di sini hanya sebagai dijadikan tumbal? Tidak! Itu tak boleh terjadi! Aku harus membawa Yudha dan diriku sendiri keluar dari tempat asing dan konyol ini! Gnane balas menatapku tanpa ekspresi.

"Jangan di sini. Bukan tempat dan waktu yang tepat." Aku mendengarnya.

Namun tetap saja, aku merasa tegang dan panik. Pikiran-pikiran buruk mulai menghampiri. Apa benar yang dikatakan Yudha tentang tipuan? Bagaimana kalau itu semua benar? Bagaimana kalau nasibku mati di sini? Bagaimana jika Rama membunuhku? Dan juga Gnane! Tidak! Sebelum itu semua terjadi, aku harus membawa Yudha keluar. Keluar dari tempat terkutuk ini dan kembali ke rumahku... Mataku menyapu sekeliling mencari kesempatan. Ah! Itu dia! Aku melihat tombak yang terpajang di dinding seberang. Dengan cekatan dan sekejap, aku meraih tombak itu dan mengacungkannya ke arah Gnane yang masih menatapku tanpa ekspresi kaget. Ya! Aku memang mengancamnya sekalian mencari celah untuk kabur sambil membawa Yudha yang belum sadar. Oh, Yudha... Ayolah bangun... Apa jangan-jangan Rama telah membuatnya tidak sadar?

"Bethari!" Rama memanggilku dari celah dan suaranya terdengar kaget. Ia segera masuk dan aku langsung mengancamnya dengan tombakku. "Apa yang kau lakukan?"

"Apa maksudmu dengan semua ini?" bentakku sambil tetap mengacungkan tombakku ke arah Rama. Kali ini aku sangat tak menghormatinya. Dengan posisi tetap dengan tombakku, aku berpindah tempat mendekati Yudha yang masih terbaring tak sadar. "Memangnya apa tujuan aku di sini sebenarnya? Untuk dibunuh olehmu agar semua rakyatmu kembali?"

Rama semakin kaget mendengarnya.

"Dengar, Bethari, kau salah paham. Kau hanya belum-"

"Jangan berkilah! Kaupikir tindakanmu selama ini tidak mencurigakan? Kau marah padaku ketika aku bertanya tentang orang bunian? Ditambah lagi dengan pertanyaanmu mengenai nasibku! Kalau kau memang mau membunuhku dan Yudha, aku yang akan membunuhmu pertama!"

Gnane tertawa. Membuatku semakin marah. Tawanya geli sekali. "Biarkan saja dia. Otak yang bodoh selalu gegabah tanpa mau berpikir. Otaknya perlu dicuci dengan Lumpur Letus."

Rama melirik Gnane sekilas. Lalu kembali menatapku dengan wajah ramahnya yang ia tunjukkan padaku pertama dulu.

"Aku mengerti. Kalau kau tidak keberatan, letakkan tombaknya, Nak. Tombak itu sangat berbahaya. Setelah itu, kita bisa berbagi," ucapnya lembut.

Aku tak bergerak. Tetap memandangnya dingin. Tidak! Aku tak boleh tertipu lagi.

"Dengar, Penipu Ulung. Satu hal. Orang bunian pernah bilang padaku bahwa sesuatu yang jahat telah bergerak. Tidak!" Rama menahan ujung tombak dengan tangannya. Aku menggoncang tombakku. "Lepaskan!"

"Nak, kau hanya belum mengerti. Turunkan tombakmu." Ia tak membentakku dan tetap tenang. "Orang bunian hanya ingin kita berhati-hati. Sungguh, aku tak bermaksud buruk padamu dan Yudha. Untuk apa Kota Perak memanggilmu jika hanya untuk membunuhmu? Tidak, Nak. Kami butuh bantuanmu."

Perasaanku membuatku menurunkan tombak. Yeah. Malu memang. Tapi, ingat! Aku harus tetap waspada.

"Bagus, Nak. Terima kasih," Rama mengambil tombak itu dariku.

"Kau hanya lelah. Tidurlah. Dan jangan berkeliaran. Kau hanya disuruh tidur, ingat!" kata Gnane.

Rama mendekatiku, lalu ia menekuk sebelah lututnya dan memegang pundakku. "Istirahatlah. Aku akan menceritakan semuanya kepadamu setelah lelahmu hilang."

Aku bingung harus bicara apalagi. Aku hanya mengangguk. Dan aku melihat Tar membawakan secawan madu batu. Rama mengambilkannya untukku. Aku meminumnya tanpa berani memandangnya.

"Maafkan aku, Kak," hanya itu yang bisa kukatakan.

Rama tersenyum dan mengambil cawan kosong dariku. Aku melirik Yudha yang belum sadar juga. Lalu aku ke kamar, kamar yang disediakan Rama untukku. Dan langsung memejamkan mataku. Aku berharap bisa tidur.

Rabu, 10 Desember 2008

When I'm Staying In Hospital

Well...
Lumayan lama juga aku ga nulis postingan.
Kenapa?
Karena, inspirasi nggak muncul-muncul!
Di sini, pas aku di rumah sakit, bukan karena aku sakit. Tapi karena aku melayani orang sakit {hehe,,, bukan maksud sombong lho secara dulu aku pernah PMR}
Oke, aku mau curhat ni tentang 'lika-liku' PKL.

Nah, hampir dua minggu PKL di RS. Polri, aku merhatiin orang-orang yang aku temuin di sana. tapi nggak merhatiin yang aneh-aneh lho.

Kayak waktu di bank darah, aku merhatiin keluarga pasien yang wajahnya cemas. Yang kaget waktu dia harus bayar Rp 1.250.000 cuma buat 10 kantong darah doang! Ya ampuuun... kasian banget... gimana kalo aku ngeliat para pasien langsung yaaa?

Oke, itu kejadian seminggu lalu waktu aku masih di bank darah. Tapi, sejak selasa kemarin, aku pindah di Laboratorium ETC (Emergency Traumatic Center). Di sana... Ada beberapa hal yang rahasia di sini. Tapi aku mau share waktu aku ngelihat para pasien secara langsung.

Di lab. ETC ini, aku ma temen partner-ku, Diah, diajak ma pembimbing wat ke ruang perawatan pasien. Pertama, aku diajak ke ruang bersalin. Di sana ada Ibu-ibu yang mau operasi caesar, makanya mau diperiksa masa perdarahan sama pembekuannya. Aku merhatiin ibu itu, mukanya pucat banget... udah gitu, mukanya tu kayak nahan sesuatu gitu... dia megangin perutnya ma keringetan... ya ampun, gimana ya waktu ibuku kayak gitu? Entah di saat aku ngelihat ibu hamil itu, aku langsung nyadar kalau aku tuh punya banyak dosa ke ibuku... Ibuuuuu... maafin aku yaaa...

Abis dari ruang bersalin, Kak Irna alumni analis juga yang angkatan 35 ngajak ke ruang Nuri. Di sana kita mau meriksa masa perdarahan ma pembekuan seorang bapak yang aku lupa dia sakit apa. Tapi, aku tahu kalau ruang Nuri itu ruang buat perawatan neurologis. Nah, aku ngeliat bapak itu kasiaaaaaan... banget.... Tau nggak, bapak itu telanjang dada and cuma pake selimut n pake pampers duan... trus, dia nggak bisa ngomong. Waktu Kak Irna nusuk kupingna wat tes masa perdarahan, dia langsung berbaring kesakitan gitu. Mukanya kayak kesakitan gitu... Aduh, pokoknya kasian banget deh. Susah ngejelasinnya.

Nah, tadi aku ke ruang Parkit 1. aku diajak ke sana ma Mbak Kristin (alumni analis angkatan 30). Dia nunjukin orang yang sakit HIV. Aduuuuuhhhh... tambah ngenes aja aku. Orang itu napasnya tersengal n mulutnya terbuka tapi matanya merem. Dadanya naik turun. Kelihatan tersiksa banget...

Ya ampun,,,,

Aku juga merhatiin keluarga pasien yang minta pemeriksaan lab. Aku mergokin ada yang nangis, lhoo... Aku juga ngeliat orang yang kakinya pincang... Aduh...

Ya Allah, aku bersyukur banget keluargaku masih diberi kesehatan...

Sabtu, 06 Desember 2008

Chapter 13: Rencana Ratu Canangium

Rama menghampiri pintu itu dan membukanya. Ketika pintu itu terbuka, muncullah tiga orang yang sebaya dengan Rama. Mereka semua menggunakan jubah bertudung hitam dan cadar sehingga terkesan seperti ninja.

"Siapa kalian?" tanya Rama curiga.

"Izinkanlah kami masuk. Perjalanan kami sangat jauh. Duta jiwa yang selamat dari Canangium." Suara yang terdengar sangat lembut. Suara wanita. Jujur saja, aku tak tahu siapa yang bicara di antara mereka bertiga.

"Baiklah. Mari," sambut Rama cemas. Mereka bertiga masuk. Aku memperhatikan mereka. Mereka balas menatapku tajam dari balik cadar mereka. Membuatku merasa takut.

Di antara mereka, yang berdiri di tengah mendekati Rama dan berbisik sesuatu. Setelah tamu asing itu selesai berbisik, Rama menatapku. "Masuklah ke dalam tirai."

Hei! Aku penasaran dengan mereka bertiga. Karena itulah, aku tak beranjak. Namun, tiba-tiba Gnane menggigit ujung kuku kelingkingku. "Aw!" jeritku kaget. Lalu Gnane mengajakku masuk tirai.

Aku melihat Yudha yang kini sedang tidur. Wajahnya sudah tak sepucat tadi.


Sementara itu, Gnane dan Tar masuk ke dalam celah gelap. Mumpung keadaan ini sepi, aku mengambil kesempatan. Perlahan, aku menuju tirai dan menguping.

"Musibah ini benar-benar mengerikan. Sebagian rakyatku mati bergelimpangan. Dan sebagian lagi menghilang entah ke mana. Keadaan semakin sulit. Ketika aku tidak diizinkan memasuki wilayah para Kurcaci. Dan dalam perjalanan menuju ke sini kami sempat diserang. Dua pengawalku tewas di tempat. Kami tak tahu pasti siapa yang menyerang kami. Mungkin sebangsa Kurcaci karena tinggi mereka lebih pendek dari kami. Kita harus mengungsi dan mencari tempat aman. Kita harus bersatu melawan ini semua. Dan mencari tahu semua penyebab racun pembunuh itu," suara perempuan itu terdengar menggebu dan cemas.

"Ck ck ck..."

Aku terlonjak kaget. Hei! Lucu sekali si Tar. Dia membawa nampan dengan tiga cawan madu batu. Dan Gnane berdiri di sampingnya.

"Kutebak, kau lebih nakal daripada bocah itu," Gnane menunjuk Yudha yang masih terbaring lemah.

Tar keluar tirai.

"Wah... Tangkasi pintar. Terima kasih, Rama."

"Silakan menikmati, Yang Mulia Ratu. Kuharap bisa menggantikan dahaga Anda," terdengar suara Rama.

Aku tak menguping lagi. Namun suara mereka terdengar sangat jelas. Gnane masih menatapku curiga.

"Aku tak keberatan," kataku, "jika kau juga ikut menguping denganku."

Gnane maju mendekatiku. Dan dengan keahliannya, ia melompat dan duduk di bahuku.

"Ide bagus," bisik Gnane.

Aku tersenyum puas. "Bisakah kau jelaskan, siapa mereka?"

"Puteri itu adalah Ratu kerajaan Canangium. Dia bukan bangsa manusia. Dia seorang dryad. Wajahnya cantik sekali. Sssshhh... Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan."

Aku dan Gnane mencari informasi mengenai racun. Sayang, Ratu Canangium juga tak begitu tahu tentang Racun.

"Apa Anda punya rencana, Yang Mulia?" suara Rama terdengar.

"Kami sudah menyiapkan pasukan, Tuan Rama," kali ini suara pria bersuara bass yang terdengar. "Sisa rakyat Canangium."

"Apakah sudah dipastikan bahwa perang akan terjadi?" suara Rama terdengar kaget.

"Kami hanya melakukan persiapan untuk keamanan. Dan rencana berikutnya, kita akan mencari tempat aman di Labirin Akik. Pasukan kami menunggu di Simpang Enam Utara." Suara Ratu menjelaskan. "Kita harus berangkat secepatnya. Ajak semua bangsa Gnome."

"Dengan penuh rasa hormat, Ratu, tidak bisa saat ini juga. Kami butuh persiapan," sahut Ratu.

"Baiklah. Kalau begitu, kurang lebih tiga hari lagi aku akan kemari. Menjemput kalian dan bangsa Gnome," suara Ratu itu begitu bening dan lembut.

"Maaf, Ratu, bagaimana nasib kedua anak manusia itu?" pertanyaan Rama kali ini mengagetkanku. Membuat jantungku berdebar-debar. Aku menatap Gnane yang juga melirikku.

- to be continued

Jumat, 05 Desember 2008

Chapter 12: Tamu Misterius

"Kau tak mengenalnya?" tanyaku heran. Dan Yudha hanya menggelengkan kepalanya.

Garuda mulai terbang rendah. Dan ternyata kami kembali ke kota para Gnome. Aku melihat Yudha memejamkan mata.

Kami melewati celah dan tiba di depan... Oh! Rama, Tar, dan Gnane sudah berdiri di depan pintu rumah Rama. Mereka menatap kami.

Dan dengan pelan sekali, Garuda mendarat. Sebenarnya aku bersyukur Garuda ini baik. Tapi aku takut sekali menghadapi Rama. Apa yang harus kukatakan kepadanya? Setelah kami turun, Rama berkata kepada Garuda itu dengan bahasa yang tak kumengerti. Mata garuda itu melirik kami.

"Terima kasih," kataku sambil tersenyum. Seolah mengerti, burung itu mengangguk kemudian terbang.

"Aha!" kata suara yang menyebalkan. "Bocah itu!" Ia menunjuk Yudha.

Tiba-tiba Yudha jatuh dan muntah. Muntahannya hanya berupa cairan kuning. Wajahnya sangat pucat. Rama buru-buru menolongnya berdiri. Lalu ia menggendong Yudha yang sudah tak berdaya. Mata Rama melirikku tajam seolah memusuhiku.

"Masuk!" katanya dingin. "Ada yang perlu kita bicarakan."

Lalu Rama dan Tar menghilang di balik pintu. Perasaanku tak menentu dan takut sekali. Apakah Rama akan menghukumku?

"Apalagi yang kau tunggu?" tanya Gnane menyadarkanku. Dia sudah berada di pintu. Aku masuk dan menutup pintu. "Rama marah besar, kau tahu."

Ia menatapku. Membuat perasaanku semakin takut.

"Dengar, baik permukaan tanah ataupun bawah tanah sedang dalam bahaya. Tidakkah kau takut?" tanya Gnane. Kali ini aku mendengar suaranya jauh lebih menyenangkan.

Tanpa ragu, aku menceritakan apa yang telah terjadi kepada Gnane. Ia mendengarkanku dengan baik.

"Nah, itulah. Untung Rama menyuruh Garuda miliknya untuk mencarimu."

Tiba-tiba Rama datang dengan Tar. Yudha sudah tak bersamanya lagi. Sementara Gnane masuk ke dalam lorong gelap.

Aku memandang Rama takut-takut. "Dengar Bethari, kuharap ini yang pertama dan terakhir kalinya. Kau mengerti? Jangan berkeliaran tanpa sepengetahuanku dan Gnane. Camkan itu baik-baik!" suara Rama kali ini sangat tegas dan berbeda sekali dengan ketika ia membentakku terakhir kali.

"Maafkan aku, Kak."

Rama belum memberikan senyumnya untukku. "Tapi aku tak mengelak untuk berterima kasih kepadamu. Kau telah menyelamatkan Yudha."

Tanpa kami duga, Gnane muncul lagi dengan wajah panik.

"Rama, racun telah berhasil masuk ke wilayah Kurcaci. Tak hanya racun. Ada serangan dari pasukan yang mereka sebut pasukan logam. Kita harus bertindak cepat!" kata Gnane cepat karena panik.

"Dari mana kau tahu?" selidik Rama.

"Teman kurcaciku, Geni mengabariku baru saja. Dan ternyata, tanpa kita ketahui, kelompok Kurcaci telah melakukan penelitian terhadap racun itu dan mereka sudah tahu racun jenis apa dan penangkalnya. Mereka menyebut nama mereka dengan Fak Tiga."

Aku memperhatikan ekspresi Rama yang bingung.

"Kita harus bertemu dengan Fak Tiga," tambah Gnane.

Tiba-tiba, ada sesuatu yang mengagetkan. Seseorang membuka pintu rumah Rama...

-to be continued

Chapter 11: Di Atas Argyre

Kami terbang! Hawa kami yang panas karena lari kini terasa sejuk bahkan dingin. Pernahkah kau membayangkan menaiki Garuda? Bulu-bulu garuda sangat licin dan duduk di atasnya sangat nyaman. Selain tulang punggung yang tak begitu mengganggu, aku bisa memeluk bocah ini sekaligus leher garuda. Dan yang paling menyenangkan, aku bisa bebas memandang apapun di bawah kami.

Aku penasaran sekali dengan langit-langit di sini. Ternyata cukup tinggi dan ada pula yang rendah. Di lihat dari atas, Argyre benar-benar seperti labirin yang menyesatkan.

Ketika aku mencari ruang dengan lampion kristal dari atas, aku tak menemukannya. Eh, bocah itu hampir terjatuh. Aku segera menahannya. Ia sangat lemah. Namun aku sudah terlanjur kesal padanya.

"Cerdas sekali! Menakjubkan!" kataku dingin. "Apa maksudmu menyerang makhluk tadi?" bentakku melawan desau angin yang keras dan kepakan sayap Garuda yang bising.

Bocah itu menyebutkan alasannya, namun aku tak bisa mendengarnya karena kalah dari kebisingan udara.

"Aku tak mendengarmu," Aku mendekatkan mulutku ke telinganya. Lalu aku mengulangi pertanyaanku.

"Aku hanya berniat untuk membunuhnya."

"Justru kau malah akan membunuh dirimu sendiri dan juga aku! Lain kali berpikirlah sebelum bertindak."

"Apa menurutmu burung ini bukan tipuan?"

"Berhentilah bicara tentang tipuan!" geramku tak sabar.

Lalu kami terdiam. Garuda yang kami naiki melakukan manuver yang membuatku kagum sekaligus takut. Aku melihat dinding batu berwarna merah bara jauh di sebelah kananku. Sepertinya tempat itulah yang dimaksud Dua Setan.

Dan... Hei! Aku baru sadar kalau ternyata di langit-langit batu ini banyak bertaburan permata yang cahayanya saling memantul.

Sementara labirin juga ada yang sangat gelap ada pula yang terang. Dan aku melihat kandelir superbesar yang agak jauh dari kami. Seperti kandelir di depan tiga lorong utama.

"Omong-omong, kau belum menyebutkan namamu." Bocah itu memecahkan hening di antara kami walau sebenarnya di sekitar kami sangat bising karena angin. Garuda berbelok arah. Aku tak tahu ke mana tujuannya. Dalam hati, aku berharap Garuda ini akan membawa kita ke permukaan tanah.

"Bethari. Namaku Bethari," jawabku. "Namamu?"

"Yudha. Yudha yang bermakna perang. Sepertinya kedua orang tuaku menginginkanku berperang."

Entah mengapa, tiba-tiba aku memikirkan Rama, Tar, dan Gnane. Apakah mereka mencariku?

"Oh, tidak!" kataku panik. "Rama pasti akan membunuhku."

"Rama?" tanya Yudha. "Siapa dia?"

- to be continued

Kamis, 04 Desember 2008

Chapter 10: Serangan yang Disengaja

"Awas!" bisik bocah itu mengingatkan. Siluet itu membesar. Dan kurang dari beberapa detik lagi, makhluk itu pasti keluar.

Dia muncul! Tingginya mungkin sama dengan tinggiku. Kami menahan napas dan tak bergerak. Makhluk itu bertanduk dan berjanggut kusut yang sangat panjang. Wajahnya sangat aneh. Penuh dengan kerutan dan berwarna kemerahan. Matanya tajam. Tangannya memegang sebatang besi. Pakaiannya tak lazim dan sepatunya seperti boot.

Sepertinya makhluk itu tak menyadari kehadiran kami. Tiba-tiba, mataku menangkap bocah itu melemparkan senjata ke arah makhluk aneh itu. Bumerang! Bocah itu menggunakan bumerang dan bumerang itu melukai tangan kanan makhluk itu. Seketika, makhluk itu menoleh dan menatap tajam kami.

"Tolol!" umpatku marah.

Ketika bumerang itu kembali dan bocah itu menangkapnya dengan lihai, monster itu menyerang kami. Si bocah itu langsung menarik tanganku dan berlari ke dalam lorong berlampion giok. Makhluk itu marah. Ia mengaum keras dan aku mendengar suara makhluk lain yang serupa menjawab auman.

Lorong kali ini cukup luas dan lebar. Bocah itu terus memegang tanganku dan akhirnya terlepas. Namun kami tetap berusaha untuk berlari sekencang mungkin. Perasaanku takut bukan main. Jantungku berdegup tak teratur.

Aku menoleh ke belakang. Oh! Tidak! Mereka banyak sekali dan kecepatan lari mereka bisa jadi melebihi kami. Suara mereka bising sekali. Membuatku semakin panik.

Wusssh! Sial! Api oborku padam! Suasana menjadi gelap. Namun masih ada satu obor lain yang menyala di dinding jauh di depan kami. Dalam cahaya yang sangat minim itu, aku kehilangan bocah itu.

"Hei, kau! Pembawa bumerang!" panggilku. Dan ketika aku menoleh, kecepatan berlarinya berkurang. "Bodoh! Lari!"

Gawat! Jarak antara dirinya dengan para makhluk jelek itu sudah terlalu dekat. Dia hampir tertangkap dan...

Tidak! Aku harus menolongnya. Aku berlari melawan arah. Dan meraih tangannya yang bisa kucapai. Aku mengumpulkan tenaga dan melanjutkan berlari. Mereka sudah sangat dekat! Oh! Tolonglah kami!

"Lihatlah ke atas," kata bocah itu dengan napas tersengal. Aku mendongakkan kepalaku sekejap. Ada cahaya di sebelah kiri atas kami, langit-langit tepatnya. Dan tak jauh dari cahaya itu ada sejenis burung keemasan yang terbang.

Suara mereka semakin terdengar jelas. Dan aku mulai kelelahan karena menarik bocah ini. Keringatku mulai mengucur.

"Aw!" bocah itu menjerit. Ternyata salah satu makhluk itu memukulnya dengan batang besi yang mereka bawa. Aku kembali mendongak sambil terus berusaha berlari. Berharap burung itu akan menolong kami.

Dia hilang. Oh! Obor dinding itu sebentar lagi akan terlewati dan sepertinya aku melihat ruang lapang lagi di depan. Ayo! Aku berhasil menarik bocah ini.

Kami berhasil keluar lorong. Namun makhluk-makhluk jelek itu tetap mengejar kami. Di luar lorong memang benar ada ruang lapang dan aku melihat seekor Garuda besar menekuk kedua kakinya. Kuharap dia benar-benar sekutu!

Tak ada waktu lagi. Aku melemparkan bocah itu ke punggung Garuda dan aku melompat begitu saja dan duduk di belakang bocah itu. Napasnya tersengal. Begitu juga denganku. Lalu kami terbang dan para makhluk aneh itu tampak kecewa...

-to be continued

Wild World

Renungin deh lagunya The Script yang judulnya We Cry:

Jenny was a poor girl
livin in a rich world
named her baby Hope when she was just 14
she was hopin for a better word for this little girl
but the apple doesnt fall too far from the tree
when she gets that call, hopes too far gone
her baby's on the way
nothin left inside
together we cry

Menurut kalian, apa makna dari lagu ini?

W baru sadar kalo dunia itu ganas banget ya. Empat belas tahun udah punya anak! Astaghfirullah...

Well, tadi w sempet nonton Sekilas Info di RCTI pas w nganggur di bank darah. Ada yang tahu selain w beritanya pa?

Jujur saja, w ni orangnya pikun parah dan pas w lagi nonton w diajakin lunch bareng ma Bu Nur, kepala pelaksana bank darah. Jadi ada yang kelewat gitu deh.

Nah, beritanya tu kurang lebihnya gini:
Di AS lagi ada perundingan ngebahas ancaman serangan teroris pake SENJATA PEMUSNAH MASSAL! Astaghfirullah... Sadis ga? Naudzubillahi mindzalik... W yakin hal itu pasti terjadi. Dan w yakin itu bukan terorisme.

Karena ada riwayat yang menceritakan tanda" sebelum kiamat. Ya Allah, matikanlah aku dalam keadaan yang baik dan jangan biarkan aku hidup dalam zaman yang lebih jahil dari sekarang. Amin...

Kata pepatah Inggris, "Rumah seorang Inggris adalah kastilnya." Atau "Rumahku adalah surgaku." mungkin suatu saat nanti rumah kita udah ga aman lagi. Lantas, berlindung di manakah kita? Hanya Allah-lah pelindung kita!

Rabu, 03 Desember 2008

Chapter 9: Permata Dalam Kristal


Aha!

Ide itu terlintas begitu saja di benakku. Pintu rahasia di dinding! Aku mendekat ke dinding batu yang gelap. Mendekatkan obor untuk menerangi dinding. Mencari garis-garis tipis. Sementara si anak itu duduk di lantai sambil memejamkan matanya. Kasihan. Ia pasti lapar dan lelah sekali.

Aku melanjutkan pencarianku sampai... sampai aku... menemukan suatu lambang berbentuk lingkaran dengan garis pendek yang bercabang dua di bawah lingkaran. Lalu aku menyisir pandanganku lagi dan... bagus! Ditemukan! Sayangnya, pintu itu cukup kecil. Mungkin aku harus berjongkok dulu supaya bisa keluar melalui pintu itu.

Dan aku berusaha membuka pintu itu. Ketika celahnya terbuka sedikit, aku mendengar suara-suara yang cukup ramai. Aku mengintip. Oh, bagus! Kota para Gnome! Lempeng transportasi gnome berdengung, jamur-jamur berkilau yang berwarna-warni, dan ukiran tangga di dinding.

"Hei!" kata salah satu gnome yang sedang menaiki tangga di dinding pintu. "Pintunya bergerak!"

Tiba-tiba ada seseorang yang mendorong pintu sehingga tertutup rapat kembali seperti dinding biasa. Bocah itu!

"Jangan! Aku tak suka dengan pintu itu!" bentaknya. Kali ini aku bisa melihat lingkar matanya yang menghitam dan wajahnya yang sangat pucat. "Aku tak suka mereka," katanya lagi pelan sambil berjalan ke belakangku dan duduk lagi.

Oh! Aku baru ingat kalau bocah ini takut gnome. Yeah! Walaupun sudah dibentak, aku tak marah. Karena aku mengerti kondisinya.

Jadi aku mencari pintu rahasia lain. Kali ini aku beralih ke dinding di seberangku. Meneliti dinding seteliti mungkin.

"Aku sudah memikirkan seperti yang kaulakukan. Tapi gelap total di sini." kata bocah itu.

"Yeah!" sahutku yang masih tetap berkonsentrasi. Ups, ada simbol berbentuk bola kristal dengan pita di atasnya. Aku baru sadar ternyata banyak lambang di depan pintu. Tapi aku tak melihatnya di pintu Rama. Lalu aku meneliti lagi mencari garis pintu. Yeeess! Kali ini pintunya lebih besar. "Aku dapat!" kataku memberi tahu anak itu.

"Wow!" ia bangun dan membantuku membukakan pintu rahasia itu. Berhasil.

Tempat itu sepi dan ia berani keluar, membuatku penasaran.

Luar biasa! Jauh lebih indah daripada daerah lapang ketika pertama kali aku bertemu Gnane. Bentuk ruangan ini sangat unik. Berbentuk segilima dan langit-langitnya tak kelihatan atau memang warna langit-langitnya yang hitam. Dan di setiap sisi dinding batu menempellah lampion kristal dengan permata berwarna-warni di dalamnya. Lampion itu cukup menerangi. Dan di setip sisi dinding pula, terdapat lorong-lorong gelap. Aku mengingat-ingat apakah ada simpang lima di dalam peta. Tapi... Akh! Lupa! Peta itu sendiri juga sangat rumit.

Waaaah... Kau tahu? Dinding batu ini penuh dengan tanaman merambat berwarna-warni. Hei! Aku baru sadar kalau ada sulur yang membentuk suatu huruf atau kaligrafi, oh iya, huruf Jawa kuno. Yang menakjubkan, dari tanaman-tanaman itu ada buah-buah yang memancarkan cahaya. Dan ada bunga-bunga juga yang cantik sekali, menghiasi tepi lorong. Aku tak butuh obor lagi. Meskipun begitu, aku tetap tak bisa melihat langit-langitnya.

"Wow! Apa menurutmu ini tipuan?" Bocah itu juga mengagumi indahnya ruang ini. Lampion di sebelah kami berwarna merah terang. Kuterka, batu di dalamnya pasti akik darah. Di lorong sebelah kananku, lampionnya berwarna hijau karena batu giok di dalamnya. Di lorong ketiga, berwarna biru karena safir. Di lorong keempat lampionnya berwarna keemasan karena batu cempaka kuning. Dan di lorong kelima lampionnya berwarna putih cerah karena batu biduri bulan.

"Kalau semua ini tipuan, bagaimana menurutmu?" sahutku.

Tiba-tiba ada suara-suara gemerisik dari lorong di seberang kami. Aku dan bocah itu saling berpandangan. Sepertinya suara itu berasal dari lorong dengan lampion berwarna biru karena safir.

Kami menanti sumber bunyi itu. Dan lama-kelamaan, kami bisa melihat sedikit siluet makhluk itu.

Makhluk itu berkepala besar dan memiliki dua tanduk. Aku memergoki bocah di sampingku mengeluarkan suatu senjata dari kantong celananya...

-to be continued

Selasa, 02 Desember 2008

Chapter 8: Lubang yang Gelap & Pengap

Aku terperosok ke dalam lubang yang tak kuduga sebelumnya. Genggaman oborku terlepas dan lubangnya cukup dalam, sekitar 2 meter.

Aw! Bokongku menyentuh lantai yang cukup keras.

"Siapa kau?!" bentak seseorang yang tak kukenal. Suara cowok. Sebaya denganku.

Aku tersentak. Bingung. Cahaya oborku meredup. Dan aku tak melihat seorang pun. Aku segera meraih oborku dan berdiri. Mengarahkan oborku ke segala arah. Oh! Ternyata dia di belakangku.

Dia sepertinya sebaya denganku. Aku mengarahkan oborku kepadanya untuk melihatnya lebih jelas. Juga memperhatikan sekelilingku. Ternyata tempat ini benar-benar jebakan! Ruang ini sempit sekali berbentuk lingkaran. Bocah itu maju mendekatiku.

"Kuulangi. Siapa kau?" dia memelankan suaranya. Hei! Aku baru ingat cerita Gnane tentang ada manusia lain sebelumku yang juga datang ke Kota Perak. Pakaiannya sangat kotor dan lusuh. Begitupula dengan wajah dan rambutnya.

"Diakah kau?" bisikku.

"Aku bertanya! Siapa kau?"

"Kau juga siapa?" balasku jengkel.

Bocah itu membalikkan badannya. Lalu mengangkat kedua tangannya untuk menutup kedua telinganya.

"Jangan hiraukan, Yud! Jangan hiraukan! Dia hanya tipuan. Hanya tipuan," katanya sambil menunduk dan menggelengkan kepala.

Apa maksudnya? Aku segera menyentuh pundaknya.

"Tipuan? Apa maksudmu? Kau masuk ke sini ketika kau melihat aurora yang mendekatimu, bukan?" Bocah itu berhenti menggeleng. "Dan kau berpusing di tengah aurora lalu kau jatuh dan melihat Parhelion?"

Bocah itu berbalik perlahan-lahan. "Parhelion?" Ketika aku membuka mulutku untuk bertanya, dia langsung menjelaskan. "Orang bunian bilang bahwa aku harus berhati-hati karena banyak tipuan yang akan membahayakanku dan dunianya. Apa kau bertemu dengannya juga?"

"Orang bunian? Perempuan yang rambutnya sampai kaki?" tanyaku.

"Tentu saja. Tapi aku sendiri tak mengerti apa itu orang bunian. Dia jarang bicara tapi dia berhasil membawaku ke bawah tanah dan menghilang begitu saja. Meninggalkanku sendirian. Dan aku bertemu dengan beberapa makhluk kecil sekali. Karena aku ketakutan, maka aku lari. Tapi aku tak tahu lari ke mana dan tiba-tiba aku terjebak di bawah sini. Entah berapa lama aku berada di sini. Kau tahu? Aku kira aku mati. Dan aku kaget sekali ketika tahu ada orang lain yang terjebak. Kukira kau termasuk tipuan yang dimaksud orang bunian." Dia selesai bercerita. Dan aku melihat nafasnya yang tersengal.

"Kau percaya pada orang bunian itu? Bagaimana kalau dialah tipuan itu?"

Bocah itu merosot dan terduduk lemas.

"Entahlah. Aku hanya ingin keluar dari tempat ini dan makan. Kau tahu jalan keluar?" tanyanya lemah.

Astaga! Aku baru ingat. Bagaimana cara kami keluar dari sini? Oh, tidak! Panik kembali menghadiriku.

Senin, 01 Desember 2008

PKL Perdana Euy...

Wew...
Hari konyol k2;
W harus semangat! Karena hari ini w PKL. Takut juga c.
Jam 5, w udah bangun. N mandi deh. Sktr jam stgh 6, w ma Diah nyiapin sarapan. Beda beud dah ma di mez. Trus, w sempet nntn Reportase sekilas. W liat da bocah kecil udah pinter beud ngrokok! Ck ck ck... Gayany ngrokok itu lho yg ga nahaaaan... Gila lo! Namanya Maulana.
Ah, ga penting. Dia bukan adik w ni. Pas w mw pake jilbab... O_o... Ga da kaca! Waduh, tpaksa w ngaca di jendela.
N qt trus jalan kaki deh k RS. Polri. Hmmm... Jaraknya sama ja kayak dr blok A di kenari mas Cils mpe SDN Cils 8 {sd w dulu tuh!}.
Qt ktmu deh ma sesama almamater di dpn RS. Nah, trus qt cengok sambil liatin orang jalan. Bingung. Mau ngapain? Mau ke pendidikan dulu ato ke lab?
Jah, pokoknya qt udah kayak anak ilang dah. Apel ja asal ngikut ja ma barisan perawat yang PKL. Trus di samping barisan qt da koas yang btampang sipit. Chinese!
Abis apel, qt tmbh keder lagi. Untungny P Wondo, kepala lab t4 qt PKL manggil qt d kejauhan. N ngasih pengarahan kalo qt harus k bagian pendidikan dulu.
Di sana ktmu ma para perawat yg PKL ato koas yg bwajah cina, ada juga c yg lokal. Buat w c ga da masalah di bagian ini.
Abis itu, qt balik k lab dan pkenalan deh. Ini juga lumayanlah. Trus, pembagian tempat! Nah, ini baru masalah!
Tiba" Pa Wondo manggil Dora ma Nci. Qt kira dy mw nyuruh mereka sampling tmen ndiri. Eh, tnyta mrka masuk k ruang hematologi/urinalisa. Trus, P Wondo manggil Diah. Ndirian ke ruang Serologi. Trus Melinda ma Yuli. Melinda ke ruang sampling-pengambilan sample. N Yuli ke ruang administrasi. Nah! Tinggal w, Tuti ma Wiwit.
P Wondo mauny qt k daerah IGD. Di sna juga da lab. Trus, Tuti ma Wiwit di lab ber2. N terakhir! W ndirian! Tw ga?
W di BANK DARAH! Anjridh! Mana semalem w ga belajar. W lupa deh ma prinsipny P Hadi tentang Mayor Osse Rido. Ouh...

Oke. Tenang, Veb. P Wondo nyuruh w naruh tas w d lab t4 Wiwit ma Tuti. Udah tuh. W gabung n kenalan ma orang" Bank Darah. Ada Bu Nur ma Pa Adi. Eh, tnyta mrka malah ngobrol n ngacangin w! W smpe d Bank Darah sekitar jam 9 lwt 15 lah. Awalny B Nur ma P Adi ngobrol ma P Wondo n w duduk diem anteng jadi kambing tolol. Trus, P Wondo pgi. Trus w s4 lah nanya-nanya dikit. Eh, P W dtg lgi. W dah tlanjur bdiri ngliat kulkas yg isiny kantong darah. Dah deh. Diri n standby mpe jam 11 kurang. Beuh! Mantebh. Trus dy pgi. N w bingung harus ngapz. Sumpah, dkacangin abis w! W jg mang susah bsosialisasi {pengakuan dari hati yg tdalam}. N situasi jd tenang. Tnyt d Bank Darah jarang ada pasien. N cuma ngerjain crossmatch duan. Crossmatch tu uji silang antara darah donor ma darah resipien, cocok pa nggak.

Tp mrka tetep sibuk ngurusin berkas. Dstu ada TV, jadi w nntn c Pasha ma Acha deh mpe bosen. Mgkn karena B Nur kesel w nganggur dy nyuruh w nyatet nomor kantong darah d dalem freezer suhu -19 drjat C! Tau ga? Jari" w jadi kebas semua.

W merhatiin jam. Bentar lagi jam 12. Jamny istirahat. Akhrny 1 menit lg w istrht. W nunggu mpe mrka nyuruh w istrht. Tapi nggak! Jam 12.05 P Adi malah nginterogasi w ttg golongan darah sxan ngejelasin. W lupa! Asli! Ngarang" saja. Untung bener. Trus w nanya, "boleh istirahat ga?"... Yee boleh... W rada nggak enak mesti bolak-balik k lab wat ngambil duit d tas w.

Jam 1 w balik lagi. Tnyta P W balik jg k bank darah. Jam 1 lwt 15, ada sample. Wah... Ngliat deh cara crossmatch. Wah, ribet! Sbenerny c nggak, cma w liat tangan P Adi cekatan beud. Kan sblum dcrossmatch qt harus tw golongan darahny, dy iseng nanyain w. Waduh, w lupa. W asal njeplak aja, "B!" yakin beud w tapiny. Eh, P Adi malah senyam senyum gtu. Dy malah nany yakin? Tau ah! Tnyta jwbn yg bener tu gol darah A! Eh, dy iseng lagi nyuruh w nyalin formulir pemeriksaan. Ya udah. Trz sktr jam 2an pgantian shift. Ada ibu baru yg lum tw namany, dy enak beud. Coz ga nyuekin w.

Ya Allah, smg besok lebih baik lagi! Amin...

Minggu, 30 November 2008

Silly Day

Rata KananWell,...
Ehem...
Daftar kekonyolan hari ini:
  1. 1. W niat mw beli sepatu NB. W tw biasany hargany 25rbuan kalo d Munjul. Tapi ternyata pas w tanya ma penjual d Psr Cilngsi, hargany 45rb! Waduh! Jujur ja, w paling ga bisa nawar. Jadi w malah nanya, "40 aja deh." Dikasih. Pas w bilang ma Tante w yg nganterin {pas w bayar sepatu dy lg liat" baju}, dy langsung ngomel-ngomelin w di dpan pjual baju gtu. Diulang mulu lagi ngomelnya. Ugh. Jadi malay w.
  2. 2. W memutuskan: mending w ndirian aja beli sabun n yg lain" wat PKL coz w mw nginep d oz sodara tmen w drpd ma Tante w. Nah, sisa duit wat bli sepatu, seragam, ma kaos kaki tu tggal 25rbu. Kebetulan d dkt humz ada indomaret baru. Kesitulah w. W mikir, kira" 25rbu cukup wat beli pa ja. Oke, w pilih sabun cair yg dbwh 5rb, odol yg dbwh 4rb, n sikat gigi yg dbwh 2rb. Nah, duit w sisa. Kebetulan w liat casablanca cuma 10.600 duan. W embat ja. Pas w bayar dkasir tnyta total harga 25.500! Waduh, duit w cuma kurang gope! Sial! W buru" bilang kalo casablancany ga jadi. Eh, ga tauny dy malah bingung gmna cra cancel d komptr kasir. Payah! Tw ga? Pas dy ngembaliin duit w, tnyta kembalianny 15.500! Brarti w bsa dun bli casablanca. Indomaret baru yg aneh...
  3. 3. W udah siap d mez mw brgkt k humz sodara tmen w yg lokasiny dket RS. Polri {tempat w PKL}. N trnyta da Melinda, tmen skamar w. Dy bwa sodarany n dianterin pake mobil. N dy nawarin supaya w ikut ja ma mrka. Asyik! Trus, w nyamperin tmen w yang dkamar 1, namany Diah, tmen w yg berbaik hati menyiapkan tumpangan. Melinda dah smp mobil. Pas Diah mw nutup pintu, dy lgsg heboh. "Nametag w! Aduh w lupa dmana naruhny. Perasaan w dah taruh dsni dah." Yah, stiap org lupa gtu. Pasti yakin beud, perasaan-perasaan... Pdahl ma kyk w, ngeyel kalo lagi pikun. "Di rumah apa? Ketinggalan di jas alma lw? Ato malah dah dmasukin k dlm tas? Ato da di jaket lw?" w berusaha ngebantu ngingetin. Melinda {udah pd ga sabar nunggu kali y} dateng lagi n bingung. "Nggak kok! W yakin naruh di sini." Dy nunjuk kasur. Karena kelamaan nyari n qt ga enak ma sodara Mel, jd qt nyuruh dy duluan ja. Pas Mel udah jalan, Diah buka tasny n tnyta nametag dy nempel di dalem tasny! Ck! Mantebh beudz! Trz qt berusaha ngejar Mel wat nyari tumpangan. Jaaaah... Has gone... Mana w bw 2 tas 1 tentengan lg. Beuh...
  4. 4. Akhirnya, setelah memanggul beban yg sangat berat, w ma Diah smp d dpn Mal Cijantung n k oz sodarany Diah deh. Pas di sana, sumpah w canggung abis. W ga ngomong kalo ga dtny. N kalo disuruh minum wejangan ato makan, w nyuruh Diah dulu baru w ikutan. Eh, tiba" w inget! Tnyta w ga bwa jarum pentul. W bingung. Mana ujan. Takut ga s4 beli ya udah w bilang ma Diah n Diah bilang ke sodarany tu. Alhamdulillah, dkasih... Tp sumpah! W malu beud pas Diah mintain pentul wat w.
  5. 5. Akhirny, sampe jg d Kramat Jati, lokasi sbnerny dmana Diah ma w nginep. Stelah ngedengerin orientasi dari Pa Deny Diah, qt beres". Dan pas itu, w inget. Topi w ktinggalan di mez! Mana besok upacara perdana PKL. Untungny, tmen w pny 2. Thx y, Intan Fandini! Ya Allah, semoga PKL dan segalanya berjalan dgn lancar. Amin... Reaktan, met PKL y! Will miss yah all! N wat Diah n keluargany, thx so much y! Smg w kerasan. Amin!

Chapter 7: Pintu-Pintu di Dinding Batu

Aku menanti jawabannya. Dia terus menatapku tanpa bicara. Dari ekspresinya, kuterka ia tak suka dengan pertanyaanku.
"Siapa dia?" ulangku pelan.
Rama memalingkan wajah seketika.
"Orang bunian," jawabnya pada akhirnya.
"Apa itu orang bunian? Manusia? Atau penyihir? Dia bisa menghilang!"
"Cukup, Bethari!" sergah Rama jengkel. "Maksudku kau mungkin perlu istirahat. Kita akan mendapatkan banyak pekerjaan."
Rama tak menatapku. Ia hanya membuka dinding yang ternyata berupa lemari beludru.
"Tunggu. Gnane tadi bilang padaku tentang alasan kenapa aku di sini. Katanya aku di sini untuk menemukan 2 manusia? Dua bangsaku? Siapa mereka? Dan tadi kaubilang tujuan kita adalah-"
"Cukup!" bentak Rama. Sesaat kemudian situasi menjadi canggung. Apa aku salah bicara? Rama melirikku, "Maaf. Aku tak bermaksud. Sebaiknya kau istirahat. Ambil ini." Rama memberiku seprai beludru untuk tempat tidurku. "Tempatmu di samping ceruk dinding itu." Ia menunjukkan suatu tempat berbentuk panggung kecil di samping ceruk tempat ia mengunci peta rahasia kota Argyre.
Karena tak mau dibentak lagi, aku menurutinya. Aku melihatnya masuk ke dalam celah gelap di mana Tar dan Gnane sedang bermain. Bukankah ini masih siang untuk tidur? Atau ia menyuruhku tidur siang?
Meski sudah kupaksakan, aku tak bisa tidur! Konyol sekali. Walaupun beludrunya sangat lembut.
Hei!
Tadi Rama bilang ada pintu di dekat perapian. Dan jalan pintas menuju Canangium. Ada apa di Canangium? Hal ini membuatku sangat penasaran.
Maka aku bangun, berjalan pelan menuju perapian. Aku menyadari, dinding-dinding kapur ini tak hanya sekedar dinding. Aku memperhatikan perbedaan dinding biasa dengan dinding yang bisa dibuka seperti lemari beludru. Aha! Aku tahu! Ternyata tampak jelas sekali kalau dari dekat. Ada garis yang membentuk lemari dan pintunya. Dan ketika mataku memperhatikan pintu-pintu tersembunyi, aku menemukan pintu terbesar. Inikah? Aku mencoba menggeser pintu itu.
Ugh! Agak berat memang. Dan aku berusaha terus untuk mendorongnya. Ah! Berhasil! Di dalam tampak gelap. Maka aku mengambil obor di belakangku. Dan masuk!
Ternyata menutup pintu dari dalam tak terlalu sulit. Ketika aku membelakangi pintu, ternyata ada 2 lorong cukup besar untuk tiga manusia yang harus kupilih. Hei! Ini tak seperti yang kulihat di peta! Apa aku salah pintu? Ah, biarlah. Aku hanya penasaran dengan lorong batu di sekitar sini.
Tanpa obor mungkin akan membuatku tak dapat melihat apapun. Untungnya aku membawa obor. Karena obor aku bisa tahu bahwa dinding-dinding batu ini berwarna hitam pekat. Dan di sini banyak terdapat stalaktit dan stalakmit. Namun, permukaan dindingnya sangat halus tanpa ada ceruk ataupun tonjolan. Aku memilih lorong ke kanan.
Di lorong, perasaanku tak enak. Serasa ada seseorang yang sedang mengikutiku. Aku juga merasa ada orang bernafas di sampingku. Namun aku tak menemukan siapapun.
Hei! Apa mataku salah tangkap? Aku melihat sesuatu berkilat barusan di dinding. Berkilat perak. Aku menunggu. Dan ternyata mataku memang tidak salah lihat. Ada suatu bentuk yang berkilat. Tak hanya satu! Tapi banyak. Dan kilatan bentuk itu menyambar ke bentuk kilatan berikutnya.
Aku memperhatikan bentuknya. Semacam arah panah. Tapi berbentuk lekukan, seperti ular ketika merayap namun di belakangnya berbentuk garis lurus yang agak pendek. Simbol itulah yang berkilat dan berlanjut ke simbol berikutnya. Di kanan-kiri dindinglah simbol-simbol itu. Ujung simbol itu menunjuk terus ke dalam dan membuatku mengikutinya. Ketika aku berjalan cukup jauh, aku mendengar suara-suara samar.
"Aaaaaaaarggghhhh!"
- to be continued

Sabtu, 29 November 2008

Chapter 6: Dua Setan Antara Canangium dan Labirin Akik

Rama menggelar gulungan kertas lusuh yang lebar. Lalu ia mengambil tongkat kecil dan menjelaskan peta itu. Peta itu tampak sangat rumit dan seperti Labirin.
"Nah, peta ini adalah peta bangsa Gnome dan Kurcaci. Sebenarnya, selain mereka tidak diizinkan menyentuh peta ini. Karena racun terus mengancam dan mereka tahu kemampuan interaksiku dengan Parhelion, maka mereka mengizinkanku dan kau untuk melihatnya."
"Apa hubungannya denganku?"
"Karena kau, Bethari, akan membantuku. Kita harus memusnahkan racun itu. Baik! Sekarang perhatikan peta!"
Tar tidak memperhatikan. Ia malah bermain sesuatu yang tak kumengerti. Gnane mengangkat tubuh Tar! Konyol sekali. Tubuh Tar saja 10x tubuh Gnane.
"Ini," Rama menunjuk tiga gambar lorong yang pertama kali kulihat begitu aku berhenti meluncur. "Seperti yang sudah kukatakan tadi. Ini adalah tiga lorong utama. Sebelah sini," Tongkat penunjuk Rama menari di lorong utama sebelah kanan.
"Labirin Akik," selaku. "Aku masih ingat kok. Yang tengah menuju keluar ke Canangium. Yang paling kanan lorong terlarang karena menuju wilayah para kurcaci."
Rama tersenyum puas sambil menatapku. Lalu ia melanjutkan menjelaskan. "Tapi... Semua lorong ini saling berhubungan. Dan jika kau menuju Canangium tapi kau tersesat di sini," Rama menekankan pada daerah yang lorongnya membentuk simpang sepuluh. "Kau bisa salah jalan. Dan di daerah ini," Tongkat penunjuk menekankan garis tipis berbentuk angka delapan di antara Labirin Akik dan Canangium, "Daerah paling berbahaya dan paling panas karena dekat dengan perut bumi. Dan di sana semua lahan berbentuk tebing yang sangat curam. Mereka menyebut daerah ini dengan Dua Setan."
"Bagaimana kita bisa keluar jika semua lorong seperti ini?" tanyaku yang mulai ketakutan. "Kita tidak bisa tinggal di daerah ini terus. Aku mau melihat matahari."
Gnane berhenti bermain dengan Tar.
"Hei, aku tahu satu lorong yang sangat rahasia. Dan lorong itu langsung menuju wilayah Danau Bening tempat para Naiad. Tapi rahasia!"
"Tak perlu bilang kalau kau tak mau memberi tahu!" geramku.
"Dan, Bethari, ada lorong darurat yang akan membawamu langsung ke Canangium. Di belakang perapian itu. Hanya saja, ada segerombol Kurcaci usil di sana."
Rama menunjukkan satu garis tebal yang lurus dari simbol obor ke arah simbol matahari.
"Sebenarnya aku tak begitu mengerti jalur lorong-lorong ini. Aku baru saja mendapatkan peta ini dari Ketua Gnome ketika Parhelion memberitahuku. Jadi, jangan berkelian tanpa Gnane. Karena dia adalah pemandu kita."
Apa? Aku melirik kesal ke arah Gnane yang tersenyum puas. Kau tahu? Wajah Gnane sangat buruk!
"Nah, tujuan kita adalah keluar menuju Canangium yang berada di balik pegunungan beracun. Lalu menghancurkan sumber racun itu," terang Rama.
"Apa kau yakin sumber racun itu ada di pegunungan?" tanya Gnane yang ragu-ragu.
"Belum tahu pasti. Aku melihat sumber racun itu dari arah sana."
Rama menggulung gulungan peta dan menyimpan peta itu dalam tabung bambu merah yang berlukis ukiran batik yang penuh dengan seni. Lalu ia menyimpan tabung itu di dalam ceruk dinding yang ada sekat penguncinya.
Gnane dan Tar kembali bermain. Kali ini mereka masuk ke dalam celah tempat Rama mengambil makanan.
Hei! Aku teringat sesuatu.
"Kak Rama, aku baru ingat. Ketika aku baru tiba di kota Perak, ada seorang perempuan tinggi. Dia sempat memberiku peringatan. Setelah itu dia menghilang. Apa Anda tahu siapa dia?"
Rama kaget dan menatapku tajam.

Chapter 5: Gembili Panggang dan Madu Batu

Para gnome menatapku dan membuatku salah tingkah.
Aku malu sekali. Tapi wajah kota para Gnome ini membuatku terpana. Di setiap dinding batu kapur, ada ukiran seperti relief candi dan ada ukiran berbentuk tangga. Mataku menangkap beberapa gnome yang sedang mendaki ukiran tangga. Dan aku mengerti, mereka tinggal di dalam dinding batu kapur.
Nguuung!
Hei, ada lempeng logam tipis dengan kaca berbentuk balok di atasnya. Di dalam kaca itu ada beberapa gnome dan mereka menatapku. Kau tahu, lempengan logam berkaca itu terbang! Sepertinya itu alat transportasi mereka. Tak hanya satu. Banyak lempengan logam berkaca lainnya yang terbang tepat di depan telingaku!
Tar mengagetkanku ketika ia menyentuh kakiku yang telanjang. Oh, aku merasa asing sekali. Pria itu berjalan di hadapanku dan Gnane... Hei! Aku tak bisa membedakannya dengan yang lain.
Tahukah kau? Di lantai tempat aku berpijak banyak tumbuh tanaman sejenis jamur besar seperti payung yang berkilau berwarna-warni. Dan di antara jamur-jamur itu banyak berkeliaranlah para gnome. Menakjubkan sekali! Suara para Gnome tak terdengar. Mungkin karena mereka bingung aku ini siapa.
Dari sekian banyak celah di daerah lapang ini, pria yang belum kutahu namanya ini berbelok ke arah celah kiri. Di sini, ternyata celah lebih besar seukuran manusia normal. Dan di ujung celah terdapat pintu balok.
Hiruk-pikuk para Gnome tak terdengar lagi. Dan pria itu mengajakku masuk ke balik pintu balok.
"Inilah rumahku yang sebenarnya," katanya.
Bisakah kau bayangkan rumah yang berbentuk dari batu yang dilubangi? Yeah, sudah kuduga tak ada tempat yang empuk. Kursi dan mejanya dari batu yang dipahat, begitu juga dengan dua tempat tidur di sisi lainnya. Apakah aku akan bisa tidur di tempat seperti ini? Di pondokku lebih baik meski harus tidur di atas tikar dan bantal. Dan di sisi lain, ada celah gelap. Sebenarnya rumah pria ini hanya diterangi oleh 3 obor yang menempel di dinding.
"Maaf?" selaku begitu ia menutup pintunya. "Anda belum menyebutkan nama Anda."
"Hei! Dasar anak muda yang tuli! Namanya Rama. Aku sudah menyebutnya tadi," kata makhluk menyebalkan itu. Yeah tanpa kuberitahu namanya kau juga dapat menerkanya. Dia duduk di atas dinding batu yang menonjol.
Namun, dalam hatiku kini aku paham. Jadi, namanya Rama. Tar kembali manja padanya.
"Nah, Bethari, saatnya makan siang. Aku sudah memasak cukup banyak makanan hari ini." Rama memasuki celah gelap.
"Kau tahu, Nak?" tanya Gnane lagi. Aku melihat Tar yang secara diam-diam berjalan menuju celah gelap. "Kau di sini untuk menjemput satu bangsamu yang telah sembrono masuk ke wilayah kekuasaan kami."
Kini mataku langsung menatap Gnane yang sedang merapikan topi kerucutnya. "Apa maksudmu?"
"Asal kau tahu. Aku lupa sudah berapa lama kejadian itu. Ada seorang bocah laki-laki yang masuk kemari. Dia bangsamu! Ketika waktu istirahat tiba, bocah itu pergi entah ke mana. Dan beberapa waktu setelah perginya bocah itu, terjadi kematian di permukaan tanah dan racun menyebar. Tapi, tak lama datang lagi manusia yang masuk. Namun hanya sedikit gnome yang melihatnya. Aku sendiri tak melihatnya karena kabar tentang kedatangannya menyebar setelah dia menghilang. Kami sudah mencarinya tapi tak menemukannya..."
Ada apa ini sebenarnya? Aku tak mengerti sama sekali.
"Makanan datang. Hari ini ada gembili panggang dan air rempah."
Rama datang dengan membawa nampan yang penuh dengan makanan. Dia menghilang di balik tirai batu rubi. Dan Tar berjalan mengikutinya. Gnane melompat dan mengejar Rama. Jadi, aku juga ikut masuk ke dalam tirai itu.
Oh, ternyata di balik tirai itu terdapat ruangan yang lebih baik.
Walaupun kursi dan meja makan itu terbuat dari pahatan batu, tetapi ada beludru lembut yang melapisi. Dan ada perapian hangat yang menyala. Jujur saja, hawa di sini cukup dingin.
Rama sudah menata meja makan dengan makanan. Ia menawariku dan kami makan bersama. Kecuali Gnane. Ia hanya mengisap botol yang sangat kecil. Rama menyebutnya madu batu. Karena madu itu keluar dari batu mulia yang berwarna emas.
Rasa gembili panggang sangat aneh namun mengenyangkan walau hanya tiga suap yang masuk ke mulutku. Dan rasa air rempah sangat pedas! Karena itulah, Rama juga memberiku secawan madu batu yang dingin dan manis. Lezat sekali.
Usai makan, Tar membantu Rama membereskan meja. Kau tahu? Tar sangat menyukai sup serangga! Begitu meja bersih, Rama menggelar suatu gulungan yang besar di atas meja.
"Peta rahasia seluruh lorong pertahanan di Argyre."
- to be continued

Jumat, 28 November 2008

Masa Bebas Hampir Berakhir

SleepinBeauty curhat:
Hikz! 2 hari lagi, w ga bakal seneng" lg. Krn, mulai bulan dpn w HARUS fokus ma pelajaran. Ga boleh ga! Pdhl, w lum siap.

Masih tkenang ktika w nobar Narnia 1, Spiderwick Chronicles, Eragon n Shrek The Third d skul. Qt teriak bareng skelas. Ketawa rame"... N bahkan asisten n Pa Musa ikut nntn bentar d jendela.

Ga lagi" cabut stiap Kamis n Jumat gara" kebanykan jam kosong. Ga lagi" k warnet. Duh... Tapi w lum kuat!

Tahan dulu jelajah Gramedia Cijantung, nobar City of Ember ato Twilight. Jauh" dr hp. N w harus fokus ke PELAJARAN! Karena kepsek dah ngancam masalah kelulusan. Dtambah lg, dua hari lagi w PKL! Hikz!

Kenapa ya? Smakin k sni kok smakin males belajar? Kan w dah capek skul. Capek beudz! Kenapa qt ga langsung lulus? W tw tu konyol bgd.

Humphf, n pastinya skul ga bakal ngizinin qt pke internet skul lagi kayak kmrn. Tp kmrn w lumayan puas, ngedekor blog w mpe mabok gara" kelamaan di depan komputer.

Eh, inget beban atu lagi! Wersktuk w lum jadi ni! Herbarium juga lum bikin ma sx. Blum bkin ringkasan wat PKL... Owh... TIDAAAAAKKK!

Gimana dund? N satu hal yg paling bkin w bingung. Kalo w PKL, bsa ga ya nyuri waktu wat bobo???

Kamis, 27 November 2008

Chapter 4: Bangsa Gnome di Argyre

Pria itu menarikku dan menggendongku menuju ke dalam pohon tua yang besar. Tar tampak kebingungan dan ia mulai mengeluarkan suara-suara yang menyebalkan.

Pria itu buru-buru masuk dan menutup pintu kayu besar yang hanya berbentuk bingkai. Wajahnya panik.

Hei, ternyata di dalam pohon tua ini tak seperti yang kau bayangkan. Hanya ada lorong-lorong kecil menuju bawah yang gelap dan kandelir tinggi di atas kepalaku. Apakah manusia setengah peri ini tinggal di tempat aneh yang mirip dengan sarang tikus ini? Konyol sekali.

Tar mengagetkanku karena ia telah masuk ke dalam lorong yang berseberangan dengan pintu. Dan aw!

Pria ini menarik tanganku dan masuk ke dalam lorong yang sangat landai dan curam. Aku terpeleset di dalam lorong gelap. Dan meluncur! Eh, pria tadi sudah tak berada di dekatku lagi. Omong-omong, lorong ini dalam sekali dan aku belum berhenti meluncur.

Jujur saja, menyenangkan sekali. Serasa terbang. Dan, oh... Akhirnya aku menemukan cahaya. Yeah! Walaupun tak begitu terang. Hei, aku berhenti meluncur.

Oh, ternyata pria asing ini yang menangkapku. Hei, apa aku terlalu kecil? Ia mengangkatku di atas kepalanya dan aku melihat Tar mendongakkan kepalaku untuk menatapku. Dan sesuatu yang lebih kecil daripada Tar berdiri di samping Tar.

"Turunkan aku!"

"Ck!" Aku mendengar seseorang berdecak dan pria ini menurunkanku. "Manusia datang lagi kemari?"

Hei! Makhluk itu setinggi jari manisku kurang lebih dan ia menggunakan topi kerucut panjang. Ia yang berbicara! Wajahnya aneh dan berkerut sehingga terkesan tak bersahabat.

"Kau tahu, Rama, manusia yang sebelumnya saja menghilang. Kini kau membawanya lagi? Dan lebih kecil?" raung makhluk kecil itu.

"Hei, siapa yang kecil, Kawan Baru?" semburku kesal.

"Dia akan membantu kita, Gnane! Jangan berburuk sangka dulu. Baiklah Bethari, ini Gnane dari bangsa Gnome."

"Salam kenal, Tuan Kecil!" aku berjongkok dan mengangsurkan kelingkingku. Namun si gnome ini hanya mendelik marah kepadaku. Apa aku salah? Aku membayangkan, ia bisa berbaring di telapak tanganku, bahkan mungkin aku bisa menggenggamnya.

"Nah, Bethari, inilah Argyre, kota pertahanan Perak."

Aku bangun dan memandang takjub nuansa gua yang luas ini! Gua ini tidak gelap. Gua? Sebenarnya aku tak tahu harus menyebut tempat apa ini. Terlalu luas untuk menyebutnya gua. Lagipula, hanya ada lengkung langit-langit tanpa stalagtit yang dihiasi dengan sesuatu yang berkilauan. Ada kandelir kristal yang superbesar di tengah-tengah. Dan ada 3 lorong utama di depan kami. Dinding-dinding batu berwarna kecokelatan namun tidak menghasilkan suasana gelap. Dan ada tanaman-tanaman unik yang menghiasi sebagian dinding. Tahukah?? Tanaman-tanaman merambat itu menghasilkan cahaya berwarna-warni. Daun mereka berkilau. Dan di beberapa sisi terdapat penyangga batu yang tengahnya lebih kurus dibandingkan kedua pangkalnya. Pada penyangga itu terdapat batu-batu permata yang berkilauan.

Takjub bukan main! Segalanya tak pernah terbayangkan dalam hidupku.

"Puas? Bangsaku dibantu Kurcaci yang membangun ini semua," kata Gnane tiba-tiba.

"Orang-orang sekecil kau?" tanyaku tak percaya.

"Makan siang!" Pria itu mengingatkan.

Kami berjalan menghindari ketiga lorong menuju celah sempit.

"Paling kanan, lorong itu akan membawamu ke Akik Labirin. Di tengah, akan membawamu keluar menuju Kerajaan Canangium. Dan paling kiri adalah jalan ke arah Negeri Kurcaci yang terlarang. Semua lorong itu saling berhubungan tepatnya," Pria itu berjalan sambil menjelaskan.

Sepanjang perjalanan, aku memperhatikan berbagai macam berlian yang menempel di dinding dan memancarkan sinar. Ketika kusentuh, rasanya dingin dan lembut.

Celah itu tak begitu sempit lagi. Dan ketika kami keluar dari celah itu, aku melihat teman-teman Gnane yang mirip seperti kerumunan semut. Mereka berhenti berjalan dan memperhatikanku...

Rabu, 26 November 2008

Chapter 3: Racun di Kota Perak


Aku menoleh dan mendapati seorang pria yang sedang duduk di bawah pohon besar yang kutaksir berusia ribuan tahun. Dan... Kau tahu, negeri apa ini sebenarnya? Wajah pria itu tampan sekali. Sempurna. Aku memang masih kecil, tapi aku mengerti mana orang berwajah buruk atau tampan. Ketika aku melihatnya, ia bangkit dari duduknya dan berdiri. Kepalanya menggunakan topi tradisional Jawa dan rambutnya sedikit panjang. Pakaiannya pun berbeda dari pakaian manusia pada umumnya. Ia menggunakan selendang perak dan berpakaian rapat seperti pakaian Cina. Matanya memandang dengan lembut ke arahku dan kini ia sudah berdiri di hadapanku.

"Bethari?" katanya lagi. "Senang akhirnya bertemu denganmu. Kuharap kau baik-baik saja."

Matanya melewatiku begitu saja lalu pandangannya fokus ke arah danau. Lalu ia duduk di tepi. Aku mengikutinya dan menjulurkan tanganku ke arah permukaan danau.

"Jangan, Nak. Kau akan membangunkan para naiad."

Aku diam. Tak menyahut.

"Tidakkah kau bertanya darimana aku tahu namamu?" Ia menatapku dari bayanganku di permukaan danau. Aku terkejut.

"Maksud Anda?" Akhirnya aku bertanya.

"Bethari itu namamu, kan? Kau hilang ingatan ketika Kota Perak menarikmu."

Sekelebat awalnya, bayang-bayang yang menghantuiku. Memasuki pikiranku dan membuatku teringat akan semuanya. Rumahku, kedua orangtuaku, teman-temanku... Aku, seorang anak petani dari desa Kawali yang tiba-tiba tersesat di dunia aneh ini. Seorang anak yang sedang menggembalakan sapi di padang rumput namun tiba-tiba menghilang. Itu aku? Seorang anak yang senang bermain ketika hujan datang dan menanti segarnya air terjun dengan pelangi di curug.

Mataku menangkap orang itu lagi. Bagaimana ia tahu?

"Siapakah Anda? Dan tempat apa ini sebenarnya?" Aku menatapnya langsung ke arah matanya. Namun ia tak membalas tatapanku. Matanya tetap lurus ke depan, seperti sedang berpikir dan tangannya memainkan rumput ungu kemilau.

"Aku? Manusia setengah peri keturunan terakhir. Tidak tanya bagaimana aku bisa tahu? Negeri ini bernama Kota Perak. Dan Parhelion itu yang memberikan pertanda bahwa kau akan datang dan memberi tahu kepadaku, bangsa berdarah peri tentang kau."

"Kenapa mesti aku?" tanyaku tak mengerti.

"Kota Perak yang memilihmu. Sudah menjadi takdirmu. Kau tahu, beberapa tahun yang lalu terjadi musibah besar di Kota Perak. Ada suatu racun yang membuat semua makhluk mati tersebar di seluruh alam. Hanya beberapa yang selamat. Para naiad selamat karena mereka terlindungi oleh air. Gnome juga selamat karena mereka tinggal di dalam tanah. Beberapa hewan selamat dan kebanyakan punah. Menyedihkan sekali saat itu. Seluruh keluargaku meninggal kecuali saudaraku yang aku tak tahu berada di mana. Beberapa kejadian alam memberiku gambaran bahwa sumber racun itu masih aktif dan harus dinonaktifkan. Dan ada suatu kelompok yang mengaktifkan racun itu. Aku tak tahu siapa dan mereka berkeliaran di daerah pegunungan itu. Aku tak bisa ke sana karena racun di sana sangat kuat dan aku melihat seekor tangkasi mati seketika ketika mendekati garis batas pegunungan. Suatu saat, ada seseorang yang masuk ke Kota Perak dan orang itu menghilang. Biar bagaimanapun, kita harus menyelamatkan dia dan dunia ini."

Suatu bunyi mengagetkanku dan ketika aku tahu apa itu, hal itu sangat mengerikan dengan kedua mata cokelat bulat yang besar di antara kepala dan telinga yang seperti kucing.

"Tak perlu khawatir. Hanya sisa tangkasi."

"Bagaimana mereka bisa selamat? Begitu juga Anda."

"Air adalah pelindung kami dari racun itu. Saat itu aku sedang melakukan meditasi di air terjun Agni utara. Juga tangkasi itu. Kami selalu bersama. Namanya Tar. Kemari Tar!" pria itu memanggil tangkasi itu. Hewan yang lucu. Wajahnya mirip sekali kucing, namun ia memiliki kedua tangan dan kaki dengan jari-jari yang panjang. Tubuhnya berwarna coklat keabuan dan ekornya sangat panjang.

"Oh, iya, apa itu Parhelion?"

"Matahari semu yang memberikan gambaran kepada bangsa berdarah peri. Yang kaulihat di utara dan timur."

"Di manakah Anda tinggal selama ini?"

Pria itu memeluk Tar yang tampak senang dan bangkit dari duduknya. Ia menuju ke arah pohon tua itu.

"Di sini."

Pria itu menunjuk sesuatu berbentuk pintu di pohon tua itu.

Ketika mataku menatap ke arah langit, ada sesuatu yang menutupi Parhelion utara. Seperti kabut biru tebal yang terbang perlahan-lahan menutupi langit. Dan suasanapun mulai menggelap. Segalanya berubah dan membuat nuansa tak enak.

"Bethari! Masuk ke dalam sini! Racun itu datang lagi!" pria itu berlari ke arahku...

-to be continued

Senin, 24 November 2008

Chapter 2: Parhelion di Utara dan Timur


Sensasi aneh menyelimutiku. Angin memusingku dalam cahaya kemilauan aurora. Mataku perih. Kantuk... Oh... Kenapa selalu kantuk? Aku tak bisa melihat apapun selain lima warna ajaib yang mengelilingku. Lima warna ajaib yang berpendar. Lima warna ajaib dari aurora.

Anak tangga cemerlang yang kulewati telah melebur dan hilang. Membuatku melayang dan tanganku terentang. Apa yang sebenarnya terjadi? Dapatkah kau menjelaskannya? Kau, lima warna ajaib. Jawab aku.... Hembusan nafasku terasa hangat dan....

Aku jatuh. Tapi tak merasakan benturan. Kepalaku menyentuh sesuatu yang tak menyakitkan. Hidungku menangkap wangi sedap menyegarkan yang tak kukenal. Di manakah aku? Maka, akupun membuka mataku.

Aku tak peduli, kau percaya atau tidak. Rerumputan tak lagi berwarna hijau. Berwarna merah keunguan, Kawan! Dan harumnya menyegarkan. Dan tak jauh, ada sebatang pohon besar berdaun biru. Pohon itu besar sekali seperti telah berumur ribuan tahun. Daunnya lebat sekali. Dan di samping kanan sekitar 5 meter, ada danau besar. Entah itu samudera atau hanya danau. Dan seluas mata memandang, aku melihat berbagai warna dari beragam pepohonan. Di sisi lain ada pegunungan biru yang tinggi sekali dengan puncaknya yang diselimuti salju. Oh... Dunia apa ini?

Perasaanku tak menentu. Kagum, penasaran dan takut. Aku bangun dan bergerak menuju danau-atau laut. Luar biasa! Airnya jernih sekali. Aku bisa melihat diriku sendiri yang cukup berantakan. Dan...

Danau itu cemerlang sekali. Ada tiga pantulan cahaya matahari di permukaan air. Membuat permainan beragam warna yang tak pernah kulihat sebelumnya. Perpaduan yang indah sekali.

Aku mendongakkan kepala dan menemukan keajaiban lain! Pantulan tiga matahari itu bukanlah hanya sekedar pantulan. Tapi nyata! Adakah 3 matahari di dunia asalku?

Mataku kembali menatap takjub ke arah danau. Dan hei! Ada bayangan orang lain di sampingku. Di permukaan air yang tenang itu. Bayangan seorang wanita yang sedang menatapku.

"Matahari yang sesungguhnya adalah di sebelah kananmu. Barat." Suara itu bening dan lembut sekali.

Secara perlahan tapi pasti, aku menatapnya.

Dia... Wanita tercantik yang pernah kulihat. Rambutnya mencapai tanah, hitam legam dan berkilau. Wajahnya cerah. Dia tinggi dan lebih tinggi dari para wanita dewasa umumnya. Pakaiannya indah, rapi, dan aku tak bisa melihat kulitnya selain wajahnya. Matanya hitam sempurna. Dan ia tersenyum padaku.

"Si-siapa kau?" aku tergagap. Ia menelengkan kepalanya dengan anggun.

"Pesanku, jangan mudah tertarik oleh semua tipuan ini. Lihatlah Parhelion di utara dan timur. Itulah suatu pertanda yang akan membahayakan kita semua. Dirimu dan duniaku. Karena sesuatu yang jahat telah bergerak."

Belum sempat aku berkedip. Belum sempat aku bertanya, ia pergi. Membuat nuansa magis yang menyeramkan. Angin panas yang terasa asing membuatku ketakutan. Dan otakku bertanya, apakah Parhelion itu?

Oh! Aku sendirian! Berdiri di tempat asing yang menyeramkan dengan tiga matahari. Di tempat konyol ini. Indah memang, tapi aneh dan menyeramkan. Rasanya aku ingin marah. Siapakah yang telah membawaku ke tempat ini? Apa tujuannya? Siapakah aku ini? Dan darimana asalku? Mengapa harus aku? Mengapa sendirian? Mengapa?! Takdirku kah?

"AKU INGIN PULANG!!!" jeritku berusaha untuk sekencang"nya. Dan aku bisa mendengar suaraku yang menggema.

Plung! Seseorang melempar sesuatu ke dalam danau. Airnya beriak dan aku melihat suatu benda itu jatuh ke dasar danau yang dangkal dan indah.

"Tak perlu berteriak," ujar seseorang ramah. Dan kali ini seorang pria. "Aku sudah menunggumu."

-to be continued