Rabu, 24 Desember 2008

Chapter 17: Misteri yang Tak Menyenangkan

Aku dan Yudha saling melirik. Yudha tersenyum padaku sambil mengangguk.

"Kami siap!"

"Bagus! Yudha, kau pertama. Aku akan mengajarimu cara menggunakan katapel ini. O iya, batunya!" Rama mengeluarkan kantung kecil berisi batu putih seukuran mutiara. Ia mengambil tiga butir lalu mengikatkan kantung itu di ikat pinggang Yudha. "Perhatikan!" Rama mengambil ketapel, memasang batunya, memfokuskan sasaran yang berupa dinding batu berukir lingkaran, lalu menembak dan dinding batu itu langsung berlubang cukup dalam tepat di tengah-tengah lingkaran. Rama melempar senyumya ke arah kami. Yudha menatapnya takjub. "Cobalah."

Yudha maju. Mengambil katapel dan batu dari tangan Rama, lalu memasangnya. Lalu ia memfokuskan sasarannya di lingkaran samping lingkaran sasaran Rama. Apakah Yudha berhasil? Mungkin jawaban yang tepat adalah hampir berhasil. Ia berhasil membuat lubang tapi tidak tepat di tengah.

"Bagus!" puji Rama. Yudha tersenyum padanya. "Teruslah berlatih." Mata Rama berpindah menatapku. "Sekarang giliranmu."

Rama mengambil tombak miliknya. Aku memperhatikan tombak pemberian Rama ini. Terbuat dari kayu dan dipernis hitam mengkilap dengan ukiran ornamen yang rumit. Ujung tombak sangat runcing dan aku menyadari ujungnya terbuat dari perak.

"Perak itu mengandung racun yang sangat mematikan jika menusuk kulitmu. Maka, berhati-hatilah. Baik, perhatikan caraku memainkan tombak ini."

Rama memainkan tombaknya yang ujungnya tumpul dengan satu tangan, tangan kanannya. Ia mengayunkan tombaknya, bersikap menangkis, memukul angin, dan memeragakan menusuk udara kosong dengan lincah. Aku sempat bingung dibuatnya. Lalu aku berlatih langsung dengannya. Aku menangkis dengan tombakku, menahan serangan, berusaha menyerang balik, berusaha memukulnya, tapi Rama terlalu mahir dan gerakanku masih sangat lambat. Biarpun begitu, ia berhasil membakar semangatku. Kami terus berlatih. Begitupun Yudha yang sudah enam kali menembak tepat sasaran dengan ketapelnya.

Peluhku mulai membasahi pakaianku. Walaupun cukup lelah, aku tetap berlatih. Aku belum berhasil melumpuhkan pertahanan Rama. Ketika Rama menyerang tangan kananku, aku berkilah dan menangkis tombak Rama sekuat tenaga, dan akhirnya, tombak Rama jatuh. Aku berhasil.

"Bagus sekali, Beth!" seru Rama.

"Apa tak berlebihan, Rama?" Gnane muncul secara tiba-tiba dari pintu utama. "Kita bukan pergi untuk berperang."

Pakaian Gnane tampak seperti biasanya. Yudha langsung bersembunyi di balik tubuh Rama yang tinggi besar begitu ia menyadari kehadiran Gnane.

"Aku hanya melatih pertahanan diri mereka. Bukan untuk perang, Gnane. Bahaya mengancam di manapun," jawab Rama santai.

"Baiklah. Hei, Bocah! Apa yang kaulakukan di belakang Rama?" tanya Gnane yang belum mengetahui kelemahan Yudha.

"Bethari," bisik Yudha. Rama tersenyum melihat Yudha. "Dia bukan jengglot, kan?"

Aku tertawa. Lalu menarik Yudha keluar dari persembunyiannya. Yudha sempat menahan tarikanku. Dan akhirnya Rama menyingkir sehingga Yudha tak berlindung lagi.

"Kau cowok!" seruku. "Dia gnome. Bukan jengglot."

Yudha yang menutup mata mulai mengintip perlahan-lahan, dan akhirnya ia berani membuka matanya.

"Tak perlu takut padaku, Nak, sebelum aku berubah menjadi jengglot. Nah, Ratu dan bangsaku sudah siap untuk berangkat."

"Makanan? Sudah siap?" tanya Rama.

"Semuanya sudah siap. Garuda-mu juga sudah siap."

Aku menunggu keputusan Rama. Air mukanya berubah menjadi murung. Lalu ia menatap aku dan Yudha dengan tatapan penuh kasih sayang, berlutut di antara aku dan Yudha. Ia memegang pundak kami dan berbisik, "Ah, satu pesan penting lagi. Jika aku tak bersama kalian sampai akhir, temuilah para anggota Tiga Fak. Carilah penyebab dan pembuat racun itu. Aku berharap kita selalu bersama hingga akhir."

Entah kenapa pesan-pesan dari Rama selalu membuat perasaan kami takut. Aku menangis. Ketakutan itu membuatku tak mau beranjak. Aku melihat Yudha yang juga ketakutan.

"Mengapa kedengarannya sangat mengerikan?" tanya Yudha di bahu kanan Rama.

"Semoga tak mengerikan seperti yang kau bayangkan."

"Aku takut," bisikku di telinga kiri Rama.

"Ketakutan akan mengacaukan segalanya. Aku yakin, kalian adalah anak-anak pemberani. Parhelion tidak memilih anak-anak penakut," kata Rama sambil perlahan-lahan melepaskan pelukannya. "Berangkatlah bersama Gnane. Aku akan menyusul."

Rama tersenyum kepada kami. Senyum yang berbeda. Aku tahu senyumnya lebih tulus kali ini. Lalu ia dan Tar menghilang di balik celah. Menurutku, ia akan mengambil petanya.

"Nah, anak-anak, siap?" Gnane memecah keheningan. "Dan kau, Pria Muda, bisa membedakan aku dengan Jengglot?"

Aku melirik Yudha yang masih ragu-ragu. "Mungkin," jawabnya pelan.

"Ayo, kalau begitu." Gnane melangkah di depan kami. Aku dan Yudha saling berpandangan, lalu kami mengangguk pasti.

Senin, 22 Desember 2008

Orang yang Paling Kucintai

Ada yang inget lagu ini?

Mother, how are you today?
Here is a note from your daughter
With me everything's OK
Mother, how are you today?

Mother, don't worry, I'm fine
Promise to see you this summer
This time there will be no delay
Mother, how are you today?

I found the man of my dreams
Next time you will get to know him
Many things happened while I was away
Mother, how are you today?

Lagu ini punya kenangan khusus waktu aku masih kelas 1 SMP kalo nggak salah {pikunnya udah kronis}. Aku lupa tepatnya perayaan apa waktu itu {maklum, penyakit pikunku semakin parah dahsyat, ada yang bisa ngingetin, Teman Lama?} tapi pas zaman itu skulku ngebentuk EEC {Estusi-nama sebutan smpq yg dikasih ma mantan kepsek, Pak Usman- English Club}. Nah,ekskul EEC ini nyumbang drama wat acara yang aku lupa ini. Kawan Lama, ada yang inget ga acara apaan? Bahkan jujur aja ni, aku juga lupa total ma cerita dramanya. Kacau banget ya. Sekali lagi, Kawan Lama, ada yang inget ceritanya apa?

Tapi, satu-satunya yang aku inget, dari drama itu kita nyanyiin lagu Mother tadi.

Ya ya ya, aku tahu itu nggak ada hubungannya sama hari ini yang bertepatan sama hari ibu. Oke! Pertama, aku mau bilang, LOVE YOU FOREVER, MUM! Walaupun aku anak yang menyebalkan, bandel nggak ketulungan, pemales... Oke, oke... Actually, I love you very much, Mum!

Kayak kemarin, aku bener-bener ngerasain cinta ibuku. Aku tahu kemarin ibuku tuh capek banget, tapi ibu tetep nganterin aku pake motor sampe sekolahku...

Dulu banget, aku merasa ibuku kok jauh ya dari aku. Terlalu sibuk sama kerja. Aku kayak ngerasa ibuku nggak sayang lagi sama aku. Aku sering banget nangis diam-diam. Berharap ibuku sama kayak ibu teman-temanku yang stay home dan ngasih perhatian dan deket banget sama mereka. Sampe akhirnya ayahku mergokin aku nangis. Jujur aja, aku termasuk orang yang tertutup banget lho sama orang tua. Dan pada saat itu, aku curhat ma ayahku. Sekali itu aku curhat dari hati yang paling dalam. Semua keluh-kesahku nggak ada yang kuumpetin.

Tapi ayahku malah nyaranin, "Coba deh kamu curhat langsung sama ibu." Awalnya aku kaget banget denger jawaban itu. Aku ngumpet di balik pintu kamar ortuku, dan tiba-tiba ayahku bilang gini, "Bu, kakak mau ngomong."

Terang aku langsung kaget. Aku malu sekaligus takut. Tapi aku tetep maju, nggak berani menatap ibuku yang duduk di tepi tempat tidur nungguin aku. Mataku mulai berkaca-kaca.

"Mau ngomong apa, Kak?" suara ibuku sih biasa aja. Tapi aku tetep aja ngerasa gimanaaaa... gitu. Sebelum aku cerita, air mataku langsung tumpah.

"Kakak mau ibu tetep sayang sama kakak, Neri ma Singgih," kataku langsung sesenggukan. Belum aku selesai, ibuku langsung meluk aku. Nggak pernah aku ngerasa seaman dan senyaman itu dalam pelukan ibuku.

"Ibu sayang sama kalian semua. Sayang banget. Kalo nggak sayang nggak mungkin ibu kerja siang-malam buat kakak, neri, singgih. Ibu sayang kok. Sayang sama semua yang di rumah," kata ibuku. Dari suaranya aku bisa dengar kalo ibuku juga nangis. "Ibu nggak mau kakak terjerumus narkoba, pacaran melampaui batas... Ya Allah, jangan sampai hal itu terjadi. Jangan sampai kakak malu-maluin keluarga..."

Aku nangis sesenggukan, masih di dalam pelukan ibu. Di situ aku ngerti, betapa besarnya cinta ibu untuk keluarga. Kerja pulang jam 10 malem, jam 3 bangun lagi wat nyiapin sarapan. Subhanallah,,, semoga perjuanganmu nggak sia-sia, Bu! Aku berusaha untuk jadi yang terbaik. Cuma kalimat ini yang bisa kuucapkan untukmu,

"Happy Mother's Day and Love You Forever!"

Sabtu, 20 Desember 2008

Chapter 16: Pertemuan Rahasia

Kedua benda itu seukuran telapak tangan kami. Berkilau indah terkena cahaya api obor.

"Ini Kristal Pemanggil," jawab Rama. Ia memberikan pemanggil berbatu hijau kepadaku. Dan yang berbatu biru kepada Yudha. "Pakailah dan usahakan tak ada orang yang tahu tentang benda itu. Jika batu dalam benda itu menyentuh kulit kalian, alat itu akan menyatu dengan kalian dan bisa menginformasikan perasaan dengan orang lain yang memakai Kristal juga. Aku sudah mengaturnya untuk tiga batu, merah dari rubi, milikku; hijau dari giok milik Bethari; dan biru dari safir milik Yudha. Dengar, Kristal Pemanggil ini adalah peninggalan keluarga bangsaku yang terakhir. Yang kalian pakai adalah milik orang tuaku. Aku berusaha menghubungi saudaraku yang memakai Kristal berbatu topaz. Dan tak pernah bisa. Dugaan sementara, Kristal Pemanggilnya terlepas dari tubuhnya atau rusak. Jadi, jaga baik-baik alat itu."

"Bagaimana dengan Gnane?" tanyaku.

"Dia terlalu kecil, Sayang. Tapi aku akan selalu memastikan dia berada di dalam sepatu bootku."

"Bagaimana kami tahu jika benda ini memberikan informasi?" tanya Yudha.

"Ketiga lempeng emas itu akan bergetar dan masuk ke dalam saraf perasamu. Membuatmu bisa merasakan dan membaca pikiran orang yang sedang memanggilmu. Kuharap benda ini masih bekerja dengan baik. Karena aku takut jarak yang terlalu jauh bisa membuat benda itu tak bekerja."

"Wah!" Yudha tampak takjub dan kagum.

"Selain Kristal Pemanggil, kalian juga butuh senjata. Aku tahu kau memiliki bumerang, Yudha. Tunggu di sini," Rama menghilang di balik celah.

"Oh, ya, darimana kau dapatkan bumerang itu?" tanyaku selagi Rama tak ada.

"Ini kenang-kenangan ketika aku mengunjungi Australia lima bulan lalu."

Australia? Di manakah itu? Tiba-tiba Rama masuk. Ia membawa tombak yang waktu itu kupakai untuk mengancamnya. Juga katapel karet bergagang kayu yang dipelitur.

"Nah, Bethari, kini aku resmikan kau menggunakan itu. Tapi sebentar lagi kau akan berlatih dulu denganku," Rama memberikan tombak itu kepadaku. "Dan Yudha, kuharap kau bisa menggunakan katapel dan bumerangmu secara bergantian. Batu-batu umpannya tak akan pernah habis." Yudha menerima katapel itu. "Satu lagi yang terpenting, peta kota pertahanan ini jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Bangsa Kurcaci akan murka jika terjadi hal konyol itu. Dan jika di perjalanan nanti aku mati, kalian tidak boleh terpecah belah. Tetaplah bersama. Ingatlah semua pesanku."

Aku dan Yudha sempat kaget mendengarnya. Sepertinya perjalanan kami akan sangat menegangkan. Siapkah aku menghadapi situasi seperti ini?

"Nah," Rama menarik napas. Ia mengambil Kristal Pemanggil milikku dan mengalungkannya ke leherku. Matanya menaruh harapan besar kepadaku. Perasaanku sangat berat menerima Kristal itu. Rama juga mengalungkan Kristal Pemanggil ke leher Yudha. Sama seperti diriku, Yudha juga menanggung harapan besar.

Aku menatap Tar yang juga menatapku. "Jika aku mati," kata Rama, ia memeluk Tar, "ikuti Tar." Air mata Rama menetes.

"Kak Rama," kata Yudha takut-takut. Rama yang sadar menghapus air matanya yang membasahi kedua pipinya. "Kami baru saja menyadari bahwa kami berasal dari dimensi yang berbeda. Dunia kami berselisih 76 tahun. Bisakah kau menjelaskan?"

"Sebenarnya Parhelion yang menarikmu kemari. Kau tahu, kami tak mengenal perbedaan hari. Karena waktu di sini berjalan sangat lambat. Parhelionlah yang memilih kalian. Mengapa waktu kalian berselisih jauh? Karena mungkin perbedaan waktu itu bisa membantu Kota Perak bangkit. Maaf, aku tak tahu jawaban tepatnya."

Yudha tampak bingung. Namun ia memilih untuk diam. Tiba-tiba suatu pertanyaan melintas begitu saja di benakku.

"Kak Rama, mengapa kurcaci tinggal jauh dari sini?"

"Mereka tidak suka hidup dekat permukaan tanah. Mereka lebih menyukai tinggal jauh di bawah tanah. Baiklah, kalian siap berlatih senjata?"

'Final Destination' part III

Yuhuiii! Kesel banget deh, udah jauh"... Haus... Laper... Panas... Ups, nggak deh. Waktu aku ma Wresti turun dari Kopaja udah ujan. Gara" hawa dingin itulah, HIVku ini langsung agresif! Disaat kejengkelan yang meluap-luap, aku dan Wresti masuk ke dalem Blok M Square. Mau tahu tujuannya?

Sebentar. Sebentar... Eh, di dalem Blok M Square ternyata kosong melompong cuma yang jualan di pinggiran teralis,,, pokoknya kayak di PGC gitu deh. Ih, ilfil banget! Cuma ada Carrefour duan! Karena nggak ada apa-apa yang menarik minat, ya sudah, tujuan utama masuk adalah... Melepaskan HIVku. Hehe... Gratis. Tapi sayang, baru-baru jorok. Sumpah, di dalem bilik tuh pesing abis!

Aku ma Wresti lumayan kecewa dan bingung. Aha! Saksi kunci! Asti! Tanya aja ke dia. Kan dia yang udah nonton di sekitar sini. O iya, sialnya aku, begitu turun dari Kopaja hapequw lowbat. Maka, Wresti menelpon Asti. Ternyata eh ternyata, Asti nontonnya di Blok M Plaza! Gubrak! Brak...! Brak...! Brak...! Dan nanya deh ke Pak Satpam, di manakah Blok M Plaza itu?

Tahu di mana? "Di seberang, Non!" kata si Satpam sambil nunjuk bangunan lain sekitar 700 meter di depan. Beuuuh... Aku ma Wresti sial banget ya! Norak lagi! Maklum...

Untung ujannya udah reda. Cuma gerimis aja. Maka, aku dan Wresti berjalan menuju Final Destination kita Blok M 21 wat nonton City of Ember. Sepanjang jalan antara Blok M Square - Plaza, mata Wresti yang suka banget ma Jepang-Jepangan melotot. Tahu tak kenapa?Yang sering ke Blok M pasti tahu. Di sebelah kanan jalan, dari gerbang tiket parkir mpe bates Blok M Square tuh restoran Jeepaaaaaaaaaaaaang... semua. Unik-unik lagi. Trus, di depan deretan restoran itu ada trotoar lebar ditambah lampu jalanan yang antik. Serasa jalan di luar negeri {sumpah, norak abis} Sayang, hapeku lowbat deh! Coba kalo nggak, narsis mpe baterenya ancur kali. Hehe... Lebai!

Blok M Plaza semakin dekat dan dekat dan akhirnya dan oh! Masuk juga di dalam! Sebelumnya Wresti nanya, "Twenty one lantai berapa?" ke para petugas yang pake topi Santa Claus yang iseng banget pake acara nggeledah tas kita segala.

Niat mau naik lift. Eh, ngantri. Naik eskalator deh sampe tepar. Hehe... Yuhuy! Sampe juga di depan gerbang 21! Di poster 'Hari Ini' ga ada Ember. Tapi kita tetep masuk. Hey, Wres, what time was it? 16.15.
Masih ada waktulah sampe jam 16.35. Karena aku dan Wresti belum makan siang, we had a lunch at Bakso Kota Cak Man kalo ga salah.

Abis makan, tepat jam 16.35, aku dan Wresti udah masuk ke dalam Studio 6. Pas masuk, eh buset, orangnya dikit beud. Bangku depan nggak ada orang. Bangku belakang orangnya jarang-jarang. Sayang, film keren kok yang minat sedikit. Pasti lagi pada demen ma film banok deh. Tapi, buat aku ma Wresti, sori aja buat film ga bermutu kayak gitu pake alasan sex education segala. Halah! Lho, kok ngedumel y? Oke, lanjut!

Filmpun dimulai. Dan aku siap-siap buat membandingkan Skandar Keynes ma Harry Treadaway. Sama-sama dari Inggris nih berdua! Aku berharap, mereka nggak mirip sama sekali. Pas pertama kali aku ngeliat Doon Harrow {Harry Treadaway} dari samping, jantungku langsung berdegup! Skandy! Asti bener! Pas mukanya c Doon disorot, beuuuuh... Muka tua amat c Harry ni. Tau nggak? Umur c Treadaway tuh 24 tahun! Padahal karakter Doon Harrow umurnya 12 tahun! Dua kali lipat! Sementara yang jadi Lina Mayfleet {aku lupa nama aslinya abis susah banget, yang ku inget belakangnya Ronan} mukanya standar ABG. Dan ternyata, umur ci Mss. Ronan ini muda banget, jauh dari c Treadaway, 14 tahun! Tapi mereka cocok.

Selama film diputar, aku merhatiin bahasa Inggrisnya. Anjrit! Lebih susah dari film British kayak HP ma Narnia. Englishnya sama rumitnya ma film LoTR. Weleh weleh... Bagi kupingku, yang dimulut ma transletenya kok beda ya? Hehe... Ternyata, menjelang ending tuh film banyak banget fisikanya. Padahal aku benci banget ma fisika. Durasi sepanjang 94 menit nggak terasa. Soalnya aku puas banget ma film ini. Aku suka banget adegan pas Poppy {adik Lina}, Lina ma Doon meluncur di atas sungai bawah tanah. Paling geli pas ngeliat tikus karnivora yang aneh. Aku suka banget ma karakter Lina Mayfleet yang sayang keluarga. Duh, bingung kalo mau cerita detilnya.

Intinya, kota Ember yang ada di bawah tanah ini pasokan energinya dari generator. Karena generatornya udah tua n hampir rusak {makanya di sana sering mati lampu} dan kedua remaja ini yakin Ember ga bakal bertahan lama lagi, mereka cari jalan keluar dari Ember.

Keluar dari Blok M Plaza, aku merhatiin pemandangan kota di senja hari yang keren. Apalagi pas lewatin depan deretan restoran Jepang. Coba kalo hapeku nggak lowbat. Wresti meneruskan tujuannya beli sepatu murah. Eh, pas di ujung deretan restoran, seberangnya, ada toko sepatu. Ke sanalah kita. Sebenernya aku nggak begitu yakin kalo tukang sepatu itu murah. Benar dugaanku! Mana abangnya ngotot banget maksa wresti wat beli. Sampe dia nyuruh Wresti ngutang ma aku. Beuuh...

Akhirnya kita tinggalkan toko sepatu menyebalkan itu. Trus, ke terminal deh. Tukang Sepatu yang bertuliskan OBRAL BARANG BEKAS Rp 35.000. Yeah! Gapapa, aku dan Wresti kan belum bisa cari duit ndiri. Setelah tawar-menawar dan pilih-memilih yang cukup alot, akhirnya Wresti beli juga. Abis beli, kita naik Kopaja 57 deh. Aih... Senangnya pulang.

Mana aku capek banget. Alhamdulillah, dapet tempat duduk lagi. Sekitar jam 8.20 malam, aku sampe di Kramat Jati tempat numpangnya aku selama PKL di RS POLRI. Aku bsyukur selamat, ga kecopetan, dan masih hidup. Alhamdulillah.
The End~^

Jumat, 19 Desember 2008

'Final Destination' Part II

Dor!

Halo! Kita ketemu lagi ya. Baik, aku lanjutkan cerita petualangan norakku ke daerah Jakarta Selatan, hehehe... Sabar dun.

Well, ternyata c Wresti bales smsku. Isinya begini,
"Sbnr'a qw b'ubh fkiran...tp kyak'a u yg gag bsa y???"

Gubrak! Grusak! Grusuk! Prang! Preng! Trang! Trung!

Gara-gara balesannya begitu, aku ma Wresti jadi smsan deh. Yang tadinya niat nonton d Hollywood jadi pilih Blok M. Kita berusaha wat ngerencanain niat kita dengan baik. Sepakat, kita nonton di jam 16.35. Jujur, sejujur-jujurnya, aku juga nggak tahu sama sekali daerah Blok M itu di mana. Tapi, aku langsung inget solusinya. Melinda, teman sekamarku di Wisma Analis selama 3 tahun yang mungkin udah bosen banget ma aku tapi dia pasti bakal kangen aku adalah solusinya. Tanya aja ma dia, ke Blok M dari Pasar Rebo naik angkot berapa. Hehehe...

Malemnya, Wresti bener-bener bikin aku pengen banget nonton Ember. Pas lagi online di MXit, ketemu ma Asti! Wah, kebetulan! Dia kan udah nonton di sana. Aku interogasi dia deh. Eh, tapi Asti malah nyaranin aku nunggu keluar aja di Cibubur ma Tamini. Beuuuh...

Malam berganti pagi. Kamis yang kutunggu-tunggu pun tiba. Alhamdulillah, Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup. Paginya, aku konsultasi ma Melinda. Jawabannya, intinya sama kayak Asti. Dia nyuruh aku cari bioskop lain yang lebih deketan. Sayang, City of Ember emang tinggal di mal-mal gede doang. Ya udah, akhirnya Melinda dan Yuli, teman sekelasku menyarankan untuk janjian sama Wresti di PGC. Dari situ, naik deh the only one Kopaja yang lewat lamer Cililitan. Karena, kopaja itu berhenti tepat di Blok M.

Jam 7.11 aku sms Wresti wat memastikan rencana. Mantab! Wresti siap. Tapi lum tau jam berapa berangkat karena tergantung pada diriku, jam berapa selesai PKLnya.

Selama aku bekerja di laboratorium patologi klinik rumkit polpus rs sukanto, aku nggak lepas dari ponsel. Nah, akhirnya jam 12! Kenapa? Karena lab tutup untuk umum. Tapi aku belum bernapas lega karena masih ada beberapa pemeriksaan. Sekitar jam 12.30 lewat, aku udah nggak sabar. Ternyata masih banyak kerjaan. Sekitar jam setengah 2an dan yakin situasi udah nggak sibuk lagi, aku sms Wresti suruh dia berangkat.

Sekitar jam setengah 3 kurang, aku udah stand by di bawah jembatan penyeberangan PGC sambil nunggu Kopaja yang dimaksud Melinda. Tapi kok nggak ada yang dari arah UKI ya? Ternyata eh ternyata, Kopajanya jurusan Blok M - Kp. Rambutan. Beeuuuh...

Aaakh! Itu dia Wresti lagi turun dari jembatan penyebrangan. Sial! Gara-gara Kopajanya dari arah Jalan Raya Bogor, aku ma Wresti nyeberang lagi deh. Mana nunggu Kopaja lama banget, panas, HIV, haus, laper, ngantuk... Yeeee... Senangnya! Kopaja datang! Aku ma Wresti sampe lari"an lho ngejar tuh Kopaja.

Akhirnya... Alhamdulillah... Dapet tempat duduk lagi! Walaupun awalnya mesti diri dulu, hehehe...

Selama perjalanan, aku memandangi kota Jakarta yang megah. Tapi kok daritadi nggak liat tuh gedung-gedung pencakar langit {aduh, norak banget ya. Jangan tiru kelakuan saya ya! Hehe...}. Ini sih sama aja kayak jalan-jalan di Munjul dan sekitarnya. Sekalinya nemu tuh gedung tinggi, eh Kopajanya malah belok. Ya sudahlah.

Entah kenapa dan tiba-tiba, Kopaja ma Metromini kok pada macet ya. Aha! Ternyata udah sampe terminal tho. Tapi ngantri masuk terminalnya. Sambil ngurangin bete, aku ma Wresti liat-liat barang yang dijual sama Pedagang Kaki Lima. Eh, ada yang jual sepatu dengan tulisan 'OBRAL BARANG BEKAS Rp 35.000'

Aku ci lumayan tertarik. Wresti yang lagi ngidam sepatu langsung melotot. Dia langsung bilang, "Veb, nanti ke sini dulu ya!"

Oke! Dengan senang hati, Kawan!

Dari dalam kopaja, aku udah liat gedung gede. Blok M Square! Aku ma Wresti turun deh dari Kopaja. Kita masuk ke wilayah Pasar trus keluar dan menatap bangunan baru yang gede di depan mata. Jam baru menunjukkan 15.38. Rasanya nggak sabar banget buat beli tiket nonton. Maka, pas kita ke pintu masuk, Wresti langsung nanya ke Satpamnya, "Twenty one lantai berapa?"

"Waduh," Satpamnya ngeluh gitu, "ada c di lantai 6, tapi belum beroperasi tuh, Mbak."

Deng! Deng!

Aku ma Wresti saling pandang. Ternyata oh ternyata... Jauh-jauh ke mari malah... Humphf... Pupuslah harapanku...

Coba tebak! Aku ma Wresti jadi nonton ga?

Kamis, 18 Desember 2008

'Final Destination' part I

Hey, hey, hey... Halo semua! Quw mau cerita tentang hari ini yang sangat-sangat... Hmmm... Mungkin kata yang tepat adalah...

Melelahkan.

Oke, oke! Dilatarbelakangi keinginan yang kuat wat nonton City of Ember sebelum rilisnya Twilight di Indonesia, quw ngajak temen-temen sekelasku 3 CD tersayang wat nobar. Sayang, cuma anak-anak penggemar fantasy stories yang berminat. Lagipula, waktu itu diputarnya masih di mal-mal besar Jakarta. Belum sampe Jakarta pinggiran, hehehe... Waktu itu sekitar pertengahan November n lagi gencar-gencarnya iklan Twilight the Movie di internet. Tapi ga ada minat nonton Twilight tuh.

Oke, karena jadwal di sekolah pulangnya malem mulu dan kita nungguin City of Ember keluar di Cibubur 21, Cijantung, n Tamini, jadinya kita nggak mikirin dulu. Pas quw liat Kompas edisi hari Rabu tanggal 10 Desember, Twilight lagi ngetrend banget. Waduh, w harus nonton City of Ember sebelum kegusur n kalah pamor ama Twilight.

Ember kok ditonton. Minat pertama karena kayaknya yang main kok mirip Skandar Keynes. Kedua karena latarnya kota di bawah tanah. Kan unik. Hehe...

Eh, tiba-tiba Asti udah nonton di Blok M. Dan Sabtu kemarin dia manas-manasin quw wat nonton. Penasaran deh. Apalagi Asti mpe bilang kalo pemeran utamanya hampir mirip tapi lebih cakep dari Keynes. Wah, ga percaya tuh! Skandar Keynes tuh udah yang paling ganteng bagi quw... {yah, gimana ya tampang Arab-Inggris gitu... Btw, pada tau Skandar Keynes kan? Itu lho, Skandy, c pemeran Edmund Pevensie di Narnia.}

Maka, malam minggu pun aku browsing nyari bioskop yang masih muter tuh film. Aha! Banyak pilihan! Masalahnya, nggak ada yang kutahu selain yang di pinggiran Jakarta. Hehehe... Hollywood tau soalnya deket ma RS Gatot Subroto. Tapi ragu juga ma HTMnya. Di internet c HTMnya 15rb. Tapi nggak yakin. Tapi tetep Minggu kan masuk tuh, quw ma Wresti bermusyarah. Sepakat di Hollywood minggu ini tapi tergantung jadwal PKL.

Kemarin siang, Rabu, pas quw lagi sibuk PKL, Wresti sms w. Isi smsnya,
'Ipeb...mufin qw hyua...kyak'a qw tak bsa de...qw tak tw jalan...'
Well, sedikit kecewa juga cii... Tapi tiba" quw punya ide lain. Berarti uangku masih ada. Itu artinya quw bisa beli vcd Prince Caspian yang baru rilis, hehe... Yeee... Senangnya! Bakal liat Skandy mpe puas deh! Aku bales sms Wresti sekitar jam 2an pas pulang dari PKL.

'Ya udah, gpp. Berarti quw beli Prince Caspian. Ntar qt nobar ja d kelas. Gmana?'

Tapi tau nggak jawaban Wresti apa? Berhubung w kecapekan, kita bersambung, thatha! Tunggu selanjutnya!

Rabu, 17 Desember 2008

Chapter 15: Dimensi

"Bethari!"

Ada orang yang membangunkanku dari tidurku. Kepalaku masih pening dan aku masih mengantuk. Namun aku tetap memaksakan untuk membuka mataku. Bayangan wajah Yudha hadir di hadapanku. Atau memang diakah? Pandanganku masih agak kabur.

"Bet, apa kau tahu di mana jam tangan dan ponselku?" tanyanya.

Aku masih tak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Mataku masih sangat berat. Maka akupun memejamkan mataku lagi.

"Bethari!" Yudha mengguncang tubuhku dan memaksaku untuk bangun dan duduk. Setelah mataku terbuka, ia bertanya, "Apa kau tahu di mana jam tangan dan ponselku?"

Aku menatap Yudha dengan penampilan yang berbeda. Ia lebih rapi dan pakaiannya bersih. Tapi aku belum pernah melihat pakaian sebagus itu. Celananya pun bahannya cukup keras dan berwarna biru tua. Wajahnya pun tak kumal seperti pertama kali aku melihatnya. Yeah. Mungkin aku mengakuinya kalau ia sedikit tampan. Hehe...

"Halo? Apa kau sadar? Sudah bangun atau belum sih?"

Pertanyaanya membuatku tersadar. "Kenapa?"

Yudha mundur beberapa langkah dengan wajah kesal. Ia melipat kedua tangannya.

"Jam tangan dan ponselku, Bet. Apa kau lihat?"

Dahiku mengkerut menanggapi pertanyaannya. "Jam tangan? Setahuku hanya jam dinding. Bagaimana jadinya jam besar diletakkan di tangan? Memangnya kau akan membawa-bawa jammu itu? Heh, konyol sekali."

Yudha tampak heran dan bingung. Lalu tertawa geli sekali. "Kau belum pernah melihat jam tangan?" tanyanya. "Juga ponsel?"

"Apa itu?" Tawa Yudha semakin keras. Sementara aku semakin merasa asing dan aneh. Seperti ada sesuatu yang aneh. Dan tiba-tiba tawa Yudha berhenti dan ia menatapku dengan tatapan bingung.

"Dari mana kau berasal?"

"Desa Kawali. Kau?"

"Jakarta. Desa Kawali? Di mana itu?"

"A-a aku... Aku tak tahu. Tapi sepertinya aku pernah dengar Jakarta."

"Tidakkah kau sekolah?"

"Sekolah? Dengan apa aku berangkat ke sana? Hutan belantara terbentang luas antara sekolah dan desaku. Hanya ada satu sekolah di kota kata ibuku. Bahkan aku tak tahu di mana kota itu. Tak ada seorang pun yang sekolah di antara teman-temanku. Aku saja tak bisa membaca atau menulis."

Yudha takjub mendengarnya. Ia mendekat.

"Bagaimana aku sekolah jika Belanda saja masih mengintai?"

Mata Yudha terbelalak. "Kau datang dari tahun berapa?"

Aku tersentak. Aku? Dari tahun berapa? Apakah Yudha dari masa depan?

"1933. Kau?"

Yudha takjub. "Aku dari 2009."

Kali ini aku yang takjub. "Kukira tidak ada tahun 2000. Kukira dunia sudah Kiamat. B-b-bagaimana bisa?" aku tak mempercayainya.

Di tengah kebingungan itu, Rama muncul tiba-tiba bersama Tar. Gnane tak terlihat. Wajah Rama tampak lebih menyenangkan.

"Sudah bangun, Bethari? Sebaiknya kau membersihkan dirimu dan berganti pakaian. Aku akan membantumu membersihkan pakaian. Setelah itu, kita sarapan."

Kamar kecil Rama sangat rapi dan indah. Curah air muncul dari langit-langit dan sesuatu sejenis buah berbentuk bulat emas seperti duku mengeluarkan harum yang wangi. Di samping kananku, ada bak batu untuk berendam.

Pakaianku kembali rapi dan bersih. Rama memberiku sepasang sepatu kayu yang ringan dan tahan air. Ia juga memberiku pakaian hangat dari kulit.

Sarapan kami hanya dua cawan madu batu dan secawan besar buah anggur merah yang manis. Ternyata tanaman rambat yang kulihat di dinding batu tempo hari adalah anggur.

"Bethari, Yudha, hari ini kita akan melakukan perjalanan besar yang penuh dengan ancaman dan bahaya," kata Rama seusai kami sarapan. "Untuk berjaga-jaga, aku akan memberikan kalian ini."

Rama menunjukkan dua benda berbentuk seperti anak kunci besar yang bening seperti berlian. Masing-masing, di tengah kepala benda itu ada batu permata cantik berwarna biru dan hijau. Di sekeliling batu permata itu, terdapat tiga lempeng emas kecil. Dan di ujung kedua benda itu terdapat tali yang cukup panjang untuk dijadikan kalung.

"Apa itu, Kak Rama?" tanya kami bersamaan.

- to be continued

Sabtu, 13 Desember 2008

Crush?

Hehe... Well...
Ouch!
Hey, hey, hey...
What happen?
Am I crazy?
Oh, no!
Look, this is about my past story.
Eleven years ago, I moved to this village. I got new friend. And neighbour of course. But, til this day I never say hi or how are u to 'him'! Why?

Ryte, maybe he was my enemy in my past. We never get a peace! And... I realize that he is sooo... cool, guys! Really. But, what a pitty of me! We, he and me, never talk each other.

Smile! Yeah, I remember! He gave me a smile. But it a looooong tiiimee ago... When he and me had a new baby in our family. He had a girl. And me, a boy. When I was grade sixth elementary school. He touched my brother and smiled! I knew, he gave her smiled for my bro. Oh, when Idul Fitri! Yeah! He smiled to me... :)

We never talk each other. Perhaps I am too shy. Or he? Yeah! But I wish we could be nice friend. Just NICE FRIEND! Maybe I have a crush on him. Hahaha... Thats real LOL!

But, I just want to be his friend...

Jumat, 12 Desember 2008

Chapter 14: Tombak yang Tak Patah

Aku harap-harap cemas menanti jawaban Ratu. Cukup lama ia terdiam. Atau dia sudah menjawabnya dengan bisikan? Aku melirik Gnane sinis. Apa yang dikatakan Yudha dan orang bunian tentang tipuan benar? Jantungku berdegup semakin kencang. Bagaimana kalau nasibku dan Yudha di sini hanya sebagai dijadikan tumbal? Tidak! Itu tak boleh terjadi! Aku harus membawa Yudha dan diriku sendiri keluar dari tempat asing dan konyol ini! Gnane balas menatapku tanpa ekspresi.

"Jangan di sini. Bukan tempat dan waktu yang tepat." Aku mendengarnya.

Namun tetap saja, aku merasa tegang dan panik. Pikiran-pikiran buruk mulai menghampiri. Apa benar yang dikatakan Yudha tentang tipuan? Bagaimana kalau itu semua benar? Bagaimana kalau nasibku mati di sini? Bagaimana jika Rama membunuhku? Dan juga Gnane! Tidak! Sebelum itu semua terjadi, aku harus membawa Yudha keluar. Keluar dari tempat terkutuk ini dan kembali ke rumahku... Mataku menyapu sekeliling mencari kesempatan. Ah! Itu dia! Aku melihat tombak yang terpajang di dinding seberang. Dengan cekatan dan sekejap, aku meraih tombak itu dan mengacungkannya ke arah Gnane yang masih menatapku tanpa ekspresi kaget. Ya! Aku memang mengancamnya sekalian mencari celah untuk kabur sambil membawa Yudha yang belum sadar. Oh, Yudha... Ayolah bangun... Apa jangan-jangan Rama telah membuatnya tidak sadar?

"Bethari!" Rama memanggilku dari celah dan suaranya terdengar kaget. Ia segera masuk dan aku langsung mengancamnya dengan tombakku. "Apa yang kau lakukan?"

"Apa maksudmu dengan semua ini?" bentakku sambil tetap mengacungkan tombakku ke arah Rama. Kali ini aku sangat tak menghormatinya. Dengan posisi tetap dengan tombakku, aku berpindah tempat mendekati Yudha yang masih terbaring tak sadar. "Memangnya apa tujuan aku di sini sebenarnya? Untuk dibunuh olehmu agar semua rakyatmu kembali?"

Rama semakin kaget mendengarnya.

"Dengar, Bethari, kau salah paham. Kau hanya belum-"

"Jangan berkilah! Kaupikir tindakanmu selama ini tidak mencurigakan? Kau marah padaku ketika aku bertanya tentang orang bunian? Ditambah lagi dengan pertanyaanmu mengenai nasibku! Kalau kau memang mau membunuhku dan Yudha, aku yang akan membunuhmu pertama!"

Gnane tertawa. Membuatku semakin marah. Tawanya geli sekali. "Biarkan saja dia. Otak yang bodoh selalu gegabah tanpa mau berpikir. Otaknya perlu dicuci dengan Lumpur Letus."

Rama melirik Gnane sekilas. Lalu kembali menatapku dengan wajah ramahnya yang ia tunjukkan padaku pertama dulu.

"Aku mengerti. Kalau kau tidak keberatan, letakkan tombaknya, Nak. Tombak itu sangat berbahaya. Setelah itu, kita bisa berbagi," ucapnya lembut.

Aku tak bergerak. Tetap memandangnya dingin. Tidak! Aku tak boleh tertipu lagi.

"Dengar, Penipu Ulung. Satu hal. Orang bunian pernah bilang padaku bahwa sesuatu yang jahat telah bergerak. Tidak!" Rama menahan ujung tombak dengan tangannya. Aku menggoncang tombakku. "Lepaskan!"

"Nak, kau hanya belum mengerti. Turunkan tombakmu." Ia tak membentakku dan tetap tenang. "Orang bunian hanya ingin kita berhati-hati. Sungguh, aku tak bermaksud buruk padamu dan Yudha. Untuk apa Kota Perak memanggilmu jika hanya untuk membunuhmu? Tidak, Nak. Kami butuh bantuanmu."

Perasaanku membuatku menurunkan tombak. Yeah. Malu memang. Tapi, ingat! Aku harus tetap waspada.

"Bagus, Nak. Terima kasih," Rama mengambil tombak itu dariku.

"Kau hanya lelah. Tidurlah. Dan jangan berkeliaran. Kau hanya disuruh tidur, ingat!" kata Gnane.

Rama mendekatiku, lalu ia menekuk sebelah lututnya dan memegang pundakku. "Istirahatlah. Aku akan menceritakan semuanya kepadamu setelah lelahmu hilang."

Aku bingung harus bicara apalagi. Aku hanya mengangguk. Dan aku melihat Tar membawakan secawan madu batu. Rama mengambilkannya untukku. Aku meminumnya tanpa berani memandangnya.

"Maafkan aku, Kak," hanya itu yang bisa kukatakan.

Rama tersenyum dan mengambil cawan kosong dariku. Aku melirik Yudha yang belum sadar juga. Lalu aku ke kamar, kamar yang disediakan Rama untukku. Dan langsung memejamkan mataku. Aku berharap bisa tidur.

Rabu, 10 Desember 2008

When I'm Staying In Hospital

Well...
Lumayan lama juga aku ga nulis postingan.
Kenapa?
Karena, inspirasi nggak muncul-muncul!
Di sini, pas aku di rumah sakit, bukan karena aku sakit. Tapi karena aku melayani orang sakit {hehe,,, bukan maksud sombong lho secara dulu aku pernah PMR}
Oke, aku mau curhat ni tentang 'lika-liku' PKL.

Nah, hampir dua minggu PKL di RS. Polri, aku merhatiin orang-orang yang aku temuin di sana. tapi nggak merhatiin yang aneh-aneh lho.

Kayak waktu di bank darah, aku merhatiin keluarga pasien yang wajahnya cemas. Yang kaget waktu dia harus bayar Rp 1.250.000 cuma buat 10 kantong darah doang! Ya ampuuun... kasian banget... gimana kalo aku ngeliat para pasien langsung yaaa?

Oke, itu kejadian seminggu lalu waktu aku masih di bank darah. Tapi, sejak selasa kemarin, aku pindah di Laboratorium ETC (Emergency Traumatic Center). Di sana... Ada beberapa hal yang rahasia di sini. Tapi aku mau share waktu aku ngelihat para pasien secara langsung.

Di lab. ETC ini, aku ma temen partner-ku, Diah, diajak ma pembimbing wat ke ruang perawatan pasien. Pertama, aku diajak ke ruang bersalin. Di sana ada Ibu-ibu yang mau operasi caesar, makanya mau diperiksa masa perdarahan sama pembekuannya. Aku merhatiin ibu itu, mukanya pucat banget... udah gitu, mukanya tu kayak nahan sesuatu gitu... dia megangin perutnya ma keringetan... ya ampun, gimana ya waktu ibuku kayak gitu? Entah di saat aku ngelihat ibu hamil itu, aku langsung nyadar kalau aku tuh punya banyak dosa ke ibuku... Ibuuuuu... maafin aku yaaa...

Abis dari ruang bersalin, Kak Irna alumni analis juga yang angkatan 35 ngajak ke ruang Nuri. Di sana kita mau meriksa masa perdarahan ma pembekuan seorang bapak yang aku lupa dia sakit apa. Tapi, aku tahu kalau ruang Nuri itu ruang buat perawatan neurologis. Nah, aku ngeliat bapak itu kasiaaaaaan... banget.... Tau nggak, bapak itu telanjang dada and cuma pake selimut n pake pampers duan... trus, dia nggak bisa ngomong. Waktu Kak Irna nusuk kupingna wat tes masa perdarahan, dia langsung berbaring kesakitan gitu. Mukanya kayak kesakitan gitu... Aduh, pokoknya kasian banget deh. Susah ngejelasinnya.

Nah, tadi aku ke ruang Parkit 1. aku diajak ke sana ma Mbak Kristin (alumni analis angkatan 30). Dia nunjukin orang yang sakit HIV. Aduuuuuhhhh... tambah ngenes aja aku. Orang itu napasnya tersengal n mulutnya terbuka tapi matanya merem. Dadanya naik turun. Kelihatan tersiksa banget...

Ya ampun,,,,

Aku juga merhatiin keluarga pasien yang minta pemeriksaan lab. Aku mergokin ada yang nangis, lhoo... Aku juga ngeliat orang yang kakinya pincang... Aduh...

Ya Allah, aku bersyukur banget keluargaku masih diberi kesehatan...

Sabtu, 06 Desember 2008

Chapter 13: Rencana Ratu Canangium

Rama menghampiri pintu itu dan membukanya. Ketika pintu itu terbuka, muncullah tiga orang yang sebaya dengan Rama. Mereka semua menggunakan jubah bertudung hitam dan cadar sehingga terkesan seperti ninja.

"Siapa kalian?" tanya Rama curiga.

"Izinkanlah kami masuk. Perjalanan kami sangat jauh. Duta jiwa yang selamat dari Canangium." Suara yang terdengar sangat lembut. Suara wanita. Jujur saja, aku tak tahu siapa yang bicara di antara mereka bertiga.

"Baiklah. Mari," sambut Rama cemas. Mereka bertiga masuk. Aku memperhatikan mereka. Mereka balas menatapku tajam dari balik cadar mereka. Membuatku merasa takut.

Di antara mereka, yang berdiri di tengah mendekati Rama dan berbisik sesuatu. Setelah tamu asing itu selesai berbisik, Rama menatapku. "Masuklah ke dalam tirai."

Hei! Aku penasaran dengan mereka bertiga. Karena itulah, aku tak beranjak. Namun, tiba-tiba Gnane menggigit ujung kuku kelingkingku. "Aw!" jeritku kaget. Lalu Gnane mengajakku masuk tirai.

Aku melihat Yudha yang kini sedang tidur. Wajahnya sudah tak sepucat tadi.


Sementara itu, Gnane dan Tar masuk ke dalam celah gelap. Mumpung keadaan ini sepi, aku mengambil kesempatan. Perlahan, aku menuju tirai dan menguping.

"Musibah ini benar-benar mengerikan. Sebagian rakyatku mati bergelimpangan. Dan sebagian lagi menghilang entah ke mana. Keadaan semakin sulit. Ketika aku tidak diizinkan memasuki wilayah para Kurcaci. Dan dalam perjalanan menuju ke sini kami sempat diserang. Dua pengawalku tewas di tempat. Kami tak tahu pasti siapa yang menyerang kami. Mungkin sebangsa Kurcaci karena tinggi mereka lebih pendek dari kami. Kita harus mengungsi dan mencari tempat aman. Kita harus bersatu melawan ini semua. Dan mencari tahu semua penyebab racun pembunuh itu," suara perempuan itu terdengar menggebu dan cemas.

"Ck ck ck..."

Aku terlonjak kaget. Hei! Lucu sekali si Tar. Dia membawa nampan dengan tiga cawan madu batu. Dan Gnane berdiri di sampingnya.

"Kutebak, kau lebih nakal daripada bocah itu," Gnane menunjuk Yudha yang masih terbaring lemah.

Tar keluar tirai.

"Wah... Tangkasi pintar. Terima kasih, Rama."

"Silakan menikmati, Yang Mulia Ratu. Kuharap bisa menggantikan dahaga Anda," terdengar suara Rama.

Aku tak menguping lagi. Namun suara mereka terdengar sangat jelas. Gnane masih menatapku curiga.

"Aku tak keberatan," kataku, "jika kau juga ikut menguping denganku."

Gnane maju mendekatiku. Dan dengan keahliannya, ia melompat dan duduk di bahuku.

"Ide bagus," bisik Gnane.

Aku tersenyum puas. "Bisakah kau jelaskan, siapa mereka?"

"Puteri itu adalah Ratu kerajaan Canangium. Dia bukan bangsa manusia. Dia seorang dryad. Wajahnya cantik sekali. Sssshhh... Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan."

Aku dan Gnane mencari informasi mengenai racun. Sayang, Ratu Canangium juga tak begitu tahu tentang Racun.

"Apa Anda punya rencana, Yang Mulia?" suara Rama terdengar.

"Kami sudah menyiapkan pasukan, Tuan Rama," kali ini suara pria bersuara bass yang terdengar. "Sisa rakyat Canangium."

"Apakah sudah dipastikan bahwa perang akan terjadi?" suara Rama terdengar kaget.

"Kami hanya melakukan persiapan untuk keamanan. Dan rencana berikutnya, kita akan mencari tempat aman di Labirin Akik. Pasukan kami menunggu di Simpang Enam Utara." Suara Ratu menjelaskan. "Kita harus berangkat secepatnya. Ajak semua bangsa Gnome."

"Dengan penuh rasa hormat, Ratu, tidak bisa saat ini juga. Kami butuh persiapan," sahut Ratu.

"Baiklah. Kalau begitu, kurang lebih tiga hari lagi aku akan kemari. Menjemput kalian dan bangsa Gnome," suara Ratu itu begitu bening dan lembut.

"Maaf, Ratu, bagaimana nasib kedua anak manusia itu?" pertanyaan Rama kali ini mengagetkanku. Membuat jantungku berdebar-debar. Aku menatap Gnane yang juga melirikku.

- to be continued

Jumat, 05 Desember 2008

Chapter 12: Tamu Misterius

"Kau tak mengenalnya?" tanyaku heran. Dan Yudha hanya menggelengkan kepalanya.

Garuda mulai terbang rendah. Dan ternyata kami kembali ke kota para Gnome. Aku melihat Yudha memejamkan mata.

Kami melewati celah dan tiba di depan... Oh! Rama, Tar, dan Gnane sudah berdiri di depan pintu rumah Rama. Mereka menatap kami.

Dan dengan pelan sekali, Garuda mendarat. Sebenarnya aku bersyukur Garuda ini baik. Tapi aku takut sekali menghadapi Rama. Apa yang harus kukatakan kepadanya? Setelah kami turun, Rama berkata kepada Garuda itu dengan bahasa yang tak kumengerti. Mata garuda itu melirik kami.

"Terima kasih," kataku sambil tersenyum. Seolah mengerti, burung itu mengangguk kemudian terbang.

"Aha!" kata suara yang menyebalkan. "Bocah itu!" Ia menunjuk Yudha.

Tiba-tiba Yudha jatuh dan muntah. Muntahannya hanya berupa cairan kuning. Wajahnya sangat pucat. Rama buru-buru menolongnya berdiri. Lalu ia menggendong Yudha yang sudah tak berdaya. Mata Rama melirikku tajam seolah memusuhiku.

"Masuk!" katanya dingin. "Ada yang perlu kita bicarakan."

Lalu Rama dan Tar menghilang di balik pintu. Perasaanku tak menentu dan takut sekali. Apakah Rama akan menghukumku?

"Apalagi yang kau tunggu?" tanya Gnane menyadarkanku. Dia sudah berada di pintu. Aku masuk dan menutup pintu. "Rama marah besar, kau tahu."

Ia menatapku. Membuat perasaanku semakin takut.

"Dengar, baik permukaan tanah ataupun bawah tanah sedang dalam bahaya. Tidakkah kau takut?" tanya Gnane. Kali ini aku mendengar suaranya jauh lebih menyenangkan.

Tanpa ragu, aku menceritakan apa yang telah terjadi kepada Gnane. Ia mendengarkanku dengan baik.

"Nah, itulah. Untung Rama menyuruh Garuda miliknya untuk mencarimu."

Tiba-tiba Rama datang dengan Tar. Yudha sudah tak bersamanya lagi. Sementara Gnane masuk ke dalam lorong gelap.

Aku memandang Rama takut-takut. "Dengar Bethari, kuharap ini yang pertama dan terakhir kalinya. Kau mengerti? Jangan berkeliaran tanpa sepengetahuanku dan Gnane. Camkan itu baik-baik!" suara Rama kali ini sangat tegas dan berbeda sekali dengan ketika ia membentakku terakhir kali.

"Maafkan aku, Kak."

Rama belum memberikan senyumnya untukku. "Tapi aku tak mengelak untuk berterima kasih kepadamu. Kau telah menyelamatkan Yudha."

Tanpa kami duga, Gnane muncul lagi dengan wajah panik.

"Rama, racun telah berhasil masuk ke wilayah Kurcaci. Tak hanya racun. Ada serangan dari pasukan yang mereka sebut pasukan logam. Kita harus bertindak cepat!" kata Gnane cepat karena panik.

"Dari mana kau tahu?" selidik Rama.

"Teman kurcaciku, Geni mengabariku baru saja. Dan ternyata, tanpa kita ketahui, kelompok Kurcaci telah melakukan penelitian terhadap racun itu dan mereka sudah tahu racun jenis apa dan penangkalnya. Mereka menyebut nama mereka dengan Fak Tiga."

Aku memperhatikan ekspresi Rama yang bingung.

"Kita harus bertemu dengan Fak Tiga," tambah Gnane.

Tiba-tiba, ada sesuatu yang mengagetkan. Seseorang membuka pintu rumah Rama...

-to be continued

Chapter 11: Di Atas Argyre

Kami terbang! Hawa kami yang panas karena lari kini terasa sejuk bahkan dingin. Pernahkah kau membayangkan menaiki Garuda? Bulu-bulu garuda sangat licin dan duduk di atasnya sangat nyaman. Selain tulang punggung yang tak begitu mengganggu, aku bisa memeluk bocah ini sekaligus leher garuda. Dan yang paling menyenangkan, aku bisa bebas memandang apapun di bawah kami.

Aku penasaran sekali dengan langit-langit di sini. Ternyata cukup tinggi dan ada pula yang rendah. Di lihat dari atas, Argyre benar-benar seperti labirin yang menyesatkan.

Ketika aku mencari ruang dengan lampion kristal dari atas, aku tak menemukannya. Eh, bocah itu hampir terjatuh. Aku segera menahannya. Ia sangat lemah. Namun aku sudah terlanjur kesal padanya.

"Cerdas sekali! Menakjubkan!" kataku dingin. "Apa maksudmu menyerang makhluk tadi?" bentakku melawan desau angin yang keras dan kepakan sayap Garuda yang bising.

Bocah itu menyebutkan alasannya, namun aku tak bisa mendengarnya karena kalah dari kebisingan udara.

"Aku tak mendengarmu," Aku mendekatkan mulutku ke telinganya. Lalu aku mengulangi pertanyaanku.

"Aku hanya berniat untuk membunuhnya."

"Justru kau malah akan membunuh dirimu sendiri dan juga aku! Lain kali berpikirlah sebelum bertindak."

"Apa menurutmu burung ini bukan tipuan?"

"Berhentilah bicara tentang tipuan!" geramku tak sabar.

Lalu kami terdiam. Garuda yang kami naiki melakukan manuver yang membuatku kagum sekaligus takut. Aku melihat dinding batu berwarna merah bara jauh di sebelah kananku. Sepertinya tempat itulah yang dimaksud Dua Setan.

Dan... Hei! Aku baru sadar kalau ternyata di langit-langit batu ini banyak bertaburan permata yang cahayanya saling memantul.

Sementara labirin juga ada yang sangat gelap ada pula yang terang. Dan aku melihat kandelir superbesar yang agak jauh dari kami. Seperti kandelir di depan tiga lorong utama.

"Omong-omong, kau belum menyebutkan namamu." Bocah itu memecahkan hening di antara kami walau sebenarnya di sekitar kami sangat bising karena angin. Garuda berbelok arah. Aku tak tahu ke mana tujuannya. Dalam hati, aku berharap Garuda ini akan membawa kita ke permukaan tanah.

"Bethari. Namaku Bethari," jawabku. "Namamu?"

"Yudha. Yudha yang bermakna perang. Sepertinya kedua orang tuaku menginginkanku berperang."

Entah mengapa, tiba-tiba aku memikirkan Rama, Tar, dan Gnane. Apakah mereka mencariku?

"Oh, tidak!" kataku panik. "Rama pasti akan membunuhku."

"Rama?" tanya Yudha. "Siapa dia?"

- to be continued

Kamis, 04 Desember 2008

Chapter 10: Serangan yang Disengaja

"Awas!" bisik bocah itu mengingatkan. Siluet itu membesar. Dan kurang dari beberapa detik lagi, makhluk itu pasti keluar.

Dia muncul! Tingginya mungkin sama dengan tinggiku. Kami menahan napas dan tak bergerak. Makhluk itu bertanduk dan berjanggut kusut yang sangat panjang. Wajahnya sangat aneh. Penuh dengan kerutan dan berwarna kemerahan. Matanya tajam. Tangannya memegang sebatang besi. Pakaiannya tak lazim dan sepatunya seperti boot.

Sepertinya makhluk itu tak menyadari kehadiran kami. Tiba-tiba, mataku menangkap bocah itu melemparkan senjata ke arah makhluk aneh itu. Bumerang! Bocah itu menggunakan bumerang dan bumerang itu melukai tangan kanan makhluk itu. Seketika, makhluk itu menoleh dan menatap tajam kami.

"Tolol!" umpatku marah.

Ketika bumerang itu kembali dan bocah itu menangkapnya dengan lihai, monster itu menyerang kami. Si bocah itu langsung menarik tanganku dan berlari ke dalam lorong berlampion giok. Makhluk itu marah. Ia mengaum keras dan aku mendengar suara makhluk lain yang serupa menjawab auman.

Lorong kali ini cukup luas dan lebar. Bocah itu terus memegang tanganku dan akhirnya terlepas. Namun kami tetap berusaha untuk berlari sekencang mungkin. Perasaanku takut bukan main. Jantungku berdegup tak teratur.

Aku menoleh ke belakang. Oh! Tidak! Mereka banyak sekali dan kecepatan lari mereka bisa jadi melebihi kami. Suara mereka bising sekali. Membuatku semakin panik.

Wusssh! Sial! Api oborku padam! Suasana menjadi gelap. Namun masih ada satu obor lain yang menyala di dinding jauh di depan kami. Dalam cahaya yang sangat minim itu, aku kehilangan bocah itu.

"Hei, kau! Pembawa bumerang!" panggilku. Dan ketika aku menoleh, kecepatan berlarinya berkurang. "Bodoh! Lari!"

Gawat! Jarak antara dirinya dengan para makhluk jelek itu sudah terlalu dekat. Dia hampir tertangkap dan...

Tidak! Aku harus menolongnya. Aku berlari melawan arah. Dan meraih tangannya yang bisa kucapai. Aku mengumpulkan tenaga dan melanjutkan berlari. Mereka sudah sangat dekat! Oh! Tolonglah kami!

"Lihatlah ke atas," kata bocah itu dengan napas tersengal. Aku mendongakkan kepalaku sekejap. Ada cahaya di sebelah kiri atas kami, langit-langit tepatnya. Dan tak jauh dari cahaya itu ada sejenis burung keemasan yang terbang.

Suara mereka semakin terdengar jelas. Dan aku mulai kelelahan karena menarik bocah ini. Keringatku mulai mengucur.

"Aw!" bocah itu menjerit. Ternyata salah satu makhluk itu memukulnya dengan batang besi yang mereka bawa. Aku kembali mendongak sambil terus berusaha berlari. Berharap burung itu akan menolong kami.

Dia hilang. Oh! Obor dinding itu sebentar lagi akan terlewati dan sepertinya aku melihat ruang lapang lagi di depan. Ayo! Aku berhasil menarik bocah ini.

Kami berhasil keluar lorong. Namun makhluk-makhluk jelek itu tetap mengejar kami. Di luar lorong memang benar ada ruang lapang dan aku melihat seekor Garuda besar menekuk kedua kakinya. Kuharap dia benar-benar sekutu!

Tak ada waktu lagi. Aku melemparkan bocah itu ke punggung Garuda dan aku melompat begitu saja dan duduk di belakang bocah itu. Napasnya tersengal. Begitu juga denganku. Lalu kami terbang dan para makhluk aneh itu tampak kecewa...

-to be continued

Wild World

Renungin deh lagunya The Script yang judulnya We Cry:

Jenny was a poor girl
livin in a rich world
named her baby Hope when she was just 14
she was hopin for a better word for this little girl
but the apple doesnt fall too far from the tree
when she gets that call, hopes too far gone
her baby's on the way
nothin left inside
together we cry

Menurut kalian, apa makna dari lagu ini?

W baru sadar kalo dunia itu ganas banget ya. Empat belas tahun udah punya anak! Astaghfirullah...

Well, tadi w sempet nonton Sekilas Info di RCTI pas w nganggur di bank darah. Ada yang tahu selain w beritanya pa?

Jujur saja, w ni orangnya pikun parah dan pas w lagi nonton w diajakin lunch bareng ma Bu Nur, kepala pelaksana bank darah. Jadi ada yang kelewat gitu deh.

Nah, beritanya tu kurang lebihnya gini:
Di AS lagi ada perundingan ngebahas ancaman serangan teroris pake SENJATA PEMUSNAH MASSAL! Astaghfirullah... Sadis ga? Naudzubillahi mindzalik... W yakin hal itu pasti terjadi. Dan w yakin itu bukan terorisme.

Karena ada riwayat yang menceritakan tanda" sebelum kiamat. Ya Allah, matikanlah aku dalam keadaan yang baik dan jangan biarkan aku hidup dalam zaman yang lebih jahil dari sekarang. Amin...

Kata pepatah Inggris, "Rumah seorang Inggris adalah kastilnya." Atau "Rumahku adalah surgaku." mungkin suatu saat nanti rumah kita udah ga aman lagi. Lantas, berlindung di manakah kita? Hanya Allah-lah pelindung kita!

Rabu, 03 Desember 2008

Chapter 9: Permata Dalam Kristal


Aha!

Ide itu terlintas begitu saja di benakku. Pintu rahasia di dinding! Aku mendekat ke dinding batu yang gelap. Mendekatkan obor untuk menerangi dinding. Mencari garis-garis tipis. Sementara si anak itu duduk di lantai sambil memejamkan matanya. Kasihan. Ia pasti lapar dan lelah sekali.

Aku melanjutkan pencarianku sampai... sampai aku... menemukan suatu lambang berbentuk lingkaran dengan garis pendek yang bercabang dua di bawah lingkaran. Lalu aku menyisir pandanganku lagi dan... bagus! Ditemukan! Sayangnya, pintu itu cukup kecil. Mungkin aku harus berjongkok dulu supaya bisa keluar melalui pintu itu.

Dan aku berusaha membuka pintu itu. Ketika celahnya terbuka sedikit, aku mendengar suara-suara yang cukup ramai. Aku mengintip. Oh, bagus! Kota para Gnome! Lempeng transportasi gnome berdengung, jamur-jamur berkilau yang berwarna-warni, dan ukiran tangga di dinding.

"Hei!" kata salah satu gnome yang sedang menaiki tangga di dinding pintu. "Pintunya bergerak!"

Tiba-tiba ada seseorang yang mendorong pintu sehingga tertutup rapat kembali seperti dinding biasa. Bocah itu!

"Jangan! Aku tak suka dengan pintu itu!" bentaknya. Kali ini aku bisa melihat lingkar matanya yang menghitam dan wajahnya yang sangat pucat. "Aku tak suka mereka," katanya lagi pelan sambil berjalan ke belakangku dan duduk lagi.

Oh! Aku baru ingat kalau bocah ini takut gnome. Yeah! Walaupun sudah dibentak, aku tak marah. Karena aku mengerti kondisinya.

Jadi aku mencari pintu rahasia lain. Kali ini aku beralih ke dinding di seberangku. Meneliti dinding seteliti mungkin.

"Aku sudah memikirkan seperti yang kaulakukan. Tapi gelap total di sini." kata bocah itu.

"Yeah!" sahutku yang masih tetap berkonsentrasi. Ups, ada simbol berbentuk bola kristal dengan pita di atasnya. Aku baru sadar ternyata banyak lambang di depan pintu. Tapi aku tak melihatnya di pintu Rama. Lalu aku meneliti lagi mencari garis pintu. Yeeess! Kali ini pintunya lebih besar. "Aku dapat!" kataku memberi tahu anak itu.

"Wow!" ia bangun dan membantuku membukakan pintu rahasia itu. Berhasil.

Tempat itu sepi dan ia berani keluar, membuatku penasaran.

Luar biasa! Jauh lebih indah daripada daerah lapang ketika pertama kali aku bertemu Gnane. Bentuk ruangan ini sangat unik. Berbentuk segilima dan langit-langitnya tak kelihatan atau memang warna langit-langitnya yang hitam. Dan di setiap sisi dinding batu menempellah lampion kristal dengan permata berwarna-warni di dalamnya. Lampion itu cukup menerangi. Dan di setip sisi dinding pula, terdapat lorong-lorong gelap. Aku mengingat-ingat apakah ada simpang lima di dalam peta. Tapi... Akh! Lupa! Peta itu sendiri juga sangat rumit.

Waaaah... Kau tahu? Dinding batu ini penuh dengan tanaman merambat berwarna-warni. Hei! Aku baru sadar kalau ada sulur yang membentuk suatu huruf atau kaligrafi, oh iya, huruf Jawa kuno. Yang menakjubkan, dari tanaman-tanaman itu ada buah-buah yang memancarkan cahaya. Dan ada bunga-bunga juga yang cantik sekali, menghiasi tepi lorong. Aku tak butuh obor lagi. Meskipun begitu, aku tetap tak bisa melihat langit-langitnya.

"Wow! Apa menurutmu ini tipuan?" Bocah itu juga mengagumi indahnya ruang ini. Lampion di sebelah kami berwarna merah terang. Kuterka, batu di dalamnya pasti akik darah. Di lorong sebelah kananku, lampionnya berwarna hijau karena batu giok di dalamnya. Di lorong ketiga, berwarna biru karena safir. Di lorong keempat lampionnya berwarna keemasan karena batu cempaka kuning. Dan di lorong kelima lampionnya berwarna putih cerah karena batu biduri bulan.

"Kalau semua ini tipuan, bagaimana menurutmu?" sahutku.

Tiba-tiba ada suara-suara gemerisik dari lorong di seberang kami. Aku dan bocah itu saling berpandangan. Sepertinya suara itu berasal dari lorong dengan lampion berwarna biru karena safir.

Kami menanti sumber bunyi itu. Dan lama-kelamaan, kami bisa melihat sedikit siluet makhluk itu.

Makhluk itu berkepala besar dan memiliki dua tanduk. Aku memergoki bocah di sampingku mengeluarkan suatu senjata dari kantong celananya...

-to be continued

Selasa, 02 Desember 2008

Chapter 8: Lubang yang Gelap & Pengap

Aku terperosok ke dalam lubang yang tak kuduga sebelumnya. Genggaman oborku terlepas dan lubangnya cukup dalam, sekitar 2 meter.

Aw! Bokongku menyentuh lantai yang cukup keras.

"Siapa kau?!" bentak seseorang yang tak kukenal. Suara cowok. Sebaya denganku.

Aku tersentak. Bingung. Cahaya oborku meredup. Dan aku tak melihat seorang pun. Aku segera meraih oborku dan berdiri. Mengarahkan oborku ke segala arah. Oh! Ternyata dia di belakangku.

Dia sepertinya sebaya denganku. Aku mengarahkan oborku kepadanya untuk melihatnya lebih jelas. Juga memperhatikan sekelilingku. Ternyata tempat ini benar-benar jebakan! Ruang ini sempit sekali berbentuk lingkaran. Bocah itu maju mendekatiku.

"Kuulangi. Siapa kau?" dia memelankan suaranya. Hei! Aku baru ingat cerita Gnane tentang ada manusia lain sebelumku yang juga datang ke Kota Perak. Pakaiannya sangat kotor dan lusuh. Begitupula dengan wajah dan rambutnya.

"Diakah kau?" bisikku.

"Aku bertanya! Siapa kau?"

"Kau juga siapa?" balasku jengkel.

Bocah itu membalikkan badannya. Lalu mengangkat kedua tangannya untuk menutup kedua telinganya.

"Jangan hiraukan, Yud! Jangan hiraukan! Dia hanya tipuan. Hanya tipuan," katanya sambil menunduk dan menggelengkan kepala.

Apa maksudnya? Aku segera menyentuh pundaknya.

"Tipuan? Apa maksudmu? Kau masuk ke sini ketika kau melihat aurora yang mendekatimu, bukan?" Bocah itu berhenti menggeleng. "Dan kau berpusing di tengah aurora lalu kau jatuh dan melihat Parhelion?"

Bocah itu berbalik perlahan-lahan. "Parhelion?" Ketika aku membuka mulutku untuk bertanya, dia langsung menjelaskan. "Orang bunian bilang bahwa aku harus berhati-hati karena banyak tipuan yang akan membahayakanku dan dunianya. Apa kau bertemu dengannya juga?"

"Orang bunian? Perempuan yang rambutnya sampai kaki?" tanyaku.

"Tentu saja. Tapi aku sendiri tak mengerti apa itu orang bunian. Dia jarang bicara tapi dia berhasil membawaku ke bawah tanah dan menghilang begitu saja. Meninggalkanku sendirian. Dan aku bertemu dengan beberapa makhluk kecil sekali. Karena aku ketakutan, maka aku lari. Tapi aku tak tahu lari ke mana dan tiba-tiba aku terjebak di bawah sini. Entah berapa lama aku berada di sini. Kau tahu? Aku kira aku mati. Dan aku kaget sekali ketika tahu ada orang lain yang terjebak. Kukira kau termasuk tipuan yang dimaksud orang bunian." Dia selesai bercerita. Dan aku melihat nafasnya yang tersengal.

"Kau percaya pada orang bunian itu? Bagaimana kalau dialah tipuan itu?"

Bocah itu merosot dan terduduk lemas.

"Entahlah. Aku hanya ingin keluar dari tempat ini dan makan. Kau tahu jalan keluar?" tanyanya lemah.

Astaga! Aku baru ingat. Bagaimana cara kami keluar dari sini? Oh, tidak! Panik kembali menghadiriku.

Senin, 01 Desember 2008

PKL Perdana Euy...

Wew...
Hari konyol k2;
W harus semangat! Karena hari ini w PKL. Takut juga c.
Jam 5, w udah bangun. N mandi deh. Sktr jam stgh 6, w ma Diah nyiapin sarapan. Beda beud dah ma di mez. Trus, w sempet nntn Reportase sekilas. W liat da bocah kecil udah pinter beud ngrokok! Ck ck ck... Gayany ngrokok itu lho yg ga nahaaaan... Gila lo! Namanya Maulana.
Ah, ga penting. Dia bukan adik w ni. Pas w mw pake jilbab... O_o... Ga da kaca! Waduh, tpaksa w ngaca di jendela.
N qt trus jalan kaki deh k RS. Polri. Hmmm... Jaraknya sama ja kayak dr blok A di kenari mas Cils mpe SDN Cils 8 {sd w dulu tuh!}.
Qt ktmu deh ma sesama almamater di dpn RS. Nah, trus qt cengok sambil liatin orang jalan. Bingung. Mau ngapain? Mau ke pendidikan dulu ato ke lab?
Jah, pokoknya qt udah kayak anak ilang dah. Apel ja asal ngikut ja ma barisan perawat yang PKL. Trus di samping barisan qt da koas yang btampang sipit. Chinese!
Abis apel, qt tmbh keder lagi. Untungny P Wondo, kepala lab t4 qt PKL manggil qt d kejauhan. N ngasih pengarahan kalo qt harus k bagian pendidikan dulu.
Di sana ktmu ma para perawat yg PKL ato koas yg bwajah cina, ada juga c yg lokal. Buat w c ga da masalah di bagian ini.
Abis itu, qt balik k lab dan pkenalan deh. Ini juga lumayanlah. Trus, pembagian tempat! Nah, ini baru masalah!
Tiba" Pa Wondo manggil Dora ma Nci. Qt kira dy mw nyuruh mereka sampling tmen ndiri. Eh, tnyta mrka masuk k ruang hematologi/urinalisa. Trus, P Wondo manggil Diah. Ndirian ke ruang Serologi. Trus Melinda ma Yuli. Melinda ke ruang sampling-pengambilan sample. N Yuli ke ruang administrasi. Nah! Tinggal w, Tuti ma Wiwit.
P Wondo mauny qt k daerah IGD. Di sna juga da lab. Trus, Tuti ma Wiwit di lab ber2. N terakhir! W ndirian! Tw ga?
W di BANK DARAH! Anjridh! Mana semalem w ga belajar. W lupa deh ma prinsipny P Hadi tentang Mayor Osse Rido. Ouh...

Oke. Tenang, Veb. P Wondo nyuruh w naruh tas w d lab t4 Wiwit ma Tuti. Udah tuh. W gabung n kenalan ma orang" Bank Darah. Ada Bu Nur ma Pa Adi. Eh, tnyta mrka malah ngobrol n ngacangin w! W smpe d Bank Darah sekitar jam 9 lwt 15 lah. Awalny B Nur ma P Adi ngobrol ma P Wondo n w duduk diem anteng jadi kambing tolol. Trus, P Wondo pgi. Trus w s4 lah nanya-nanya dikit. Eh, P W dtg lgi. W dah tlanjur bdiri ngliat kulkas yg isiny kantong darah. Dah deh. Diri n standby mpe jam 11 kurang. Beuh! Mantebh. Trus dy pgi. N w bingung harus ngapz. Sumpah, dkacangin abis w! W jg mang susah bsosialisasi {pengakuan dari hati yg tdalam}. N situasi jd tenang. Tnyt d Bank Darah jarang ada pasien. N cuma ngerjain crossmatch duan. Crossmatch tu uji silang antara darah donor ma darah resipien, cocok pa nggak.

Tp mrka tetep sibuk ngurusin berkas. Dstu ada TV, jadi w nntn c Pasha ma Acha deh mpe bosen. Mgkn karena B Nur kesel w nganggur dy nyuruh w nyatet nomor kantong darah d dalem freezer suhu -19 drjat C! Tau ga? Jari" w jadi kebas semua.

W merhatiin jam. Bentar lagi jam 12. Jamny istirahat. Akhrny 1 menit lg w istrht. W nunggu mpe mrka nyuruh w istrht. Tapi nggak! Jam 12.05 P Adi malah nginterogasi w ttg golongan darah sxan ngejelasin. W lupa! Asli! Ngarang" saja. Untung bener. Trus w nanya, "boleh istirahat ga?"... Yee boleh... W rada nggak enak mesti bolak-balik k lab wat ngambil duit d tas w.

Jam 1 w balik lagi. Tnyta P W balik jg k bank darah. Jam 1 lwt 15, ada sample. Wah... Ngliat deh cara crossmatch. Wah, ribet! Sbenerny c nggak, cma w liat tangan P Adi cekatan beud. Kan sblum dcrossmatch qt harus tw golongan darahny, dy iseng nanyain w. Waduh, w lupa. W asal njeplak aja, "B!" yakin beud w tapiny. Eh, P Adi malah senyam senyum gtu. Dy malah nany yakin? Tau ah! Tnyta jwbn yg bener tu gol darah A! Eh, dy iseng lagi nyuruh w nyalin formulir pemeriksaan. Ya udah. Trz sktr jam 2an pgantian shift. Ada ibu baru yg lum tw namany, dy enak beud. Coz ga nyuekin w.

Ya Allah, smg besok lebih baik lagi! Amin...