Rabu, 26 November 2008

Chapter 3: Racun di Kota Perak


Aku menoleh dan mendapati seorang pria yang sedang duduk di bawah pohon besar yang kutaksir berusia ribuan tahun. Dan... Kau tahu, negeri apa ini sebenarnya? Wajah pria itu tampan sekali. Sempurna. Aku memang masih kecil, tapi aku mengerti mana orang berwajah buruk atau tampan. Ketika aku melihatnya, ia bangkit dari duduknya dan berdiri. Kepalanya menggunakan topi tradisional Jawa dan rambutnya sedikit panjang. Pakaiannya pun berbeda dari pakaian manusia pada umumnya. Ia menggunakan selendang perak dan berpakaian rapat seperti pakaian Cina. Matanya memandang dengan lembut ke arahku dan kini ia sudah berdiri di hadapanku.

"Bethari?" katanya lagi. "Senang akhirnya bertemu denganmu. Kuharap kau baik-baik saja."

Matanya melewatiku begitu saja lalu pandangannya fokus ke arah danau. Lalu ia duduk di tepi. Aku mengikutinya dan menjulurkan tanganku ke arah permukaan danau.

"Jangan, Nak. Kau akan membangunkan para naiad."

Aku diam. Tak menyahut.

"Tidakkah kau bertanya darimana aku tahu namamu?" Ia menatapku dari bayanganku di permukaan danau. Aku terkejut.

"Maksud Anda?" Akhirnya aku bertanya.

"Bethari itu namamu, kan? Kau hilang ingatan ketika Kota Perak menarikmu."

Sekelebat awalnya, bayang-bayang yang menghantuiku. Memasuki pikiranku dan membuatku teringat akan semuanya. Rumahku, kedua orangtuaku, teman-temanku... Aku, seorang anak petani dari desa Kawali yang tiba-tiba tersesat di dunia aneh ini. Seorang anak yang sedang menggembalakan sapi di padang rumput namun tiba-tiba menghilang. Itu aku? Seorang anak yang senang bermain ketika hujan datang dan menanti segarnya air terjun dengan pelangi di curug.

Mataku menangkap orang itu lagi. Bagaimana ia tahu?

"Siapakah Anda? Dan tempat apa ini sebenarnya?" Aku menatapnya langsung ke arah matanya. Namun ia tak membalas tatapanku. Matanya tetap lurus ke depan, seperti sedang berpikir dan tangannya memainkan rumput ungu kemilau.

"Aku? Manusia setengah peri keturunan terakhir. Tidak tanya bagaimana aku bisa tahu? Negeri ini bernama Kota Perak. Dan Parhelion itu yang memberikan pertanda bahwa kau akan datang dan memberi tahu kepadaku, bangsa berdarah peri tentang kau."

"Kenapa mesti aku?" tanyaku tak mengerti.

"Kota Perak yang memilihmu. Sudah menjadi takdirmu. Kau tahu, beberapa tahun yang lalu terjadi musibah besar di Kota Perak. Ada suatu racun yang membuat semua makhluk mati tersebar di seluruh alam. Hanya beberapa yang selamat. Para naiad selamat karena mereka terlindungi oleh air. Gnome juga selamat karena mereka tinggal di dalam tanah. Beberapa hewan selamat dan kebanyakan punah. Menyedihkan sekali saat itu. Seluruh keluargaku meninggal kecuali saudaraku yang aku tak tahu berada di mana. Beberapa kejadian alam memberiku gambaran bahwa sumber racun itu masih aktif dan harus dinonaktifkan. Dan ada suatu kelompok yang mengaktifkan racun itu. Aku tak tahu siapa dan mereka berkeliaran di daerah pegunungan itu. Aku tak bisa ke sana karena racun di sana sangat kuat dan aku melihat seekor tangkasi mati seketika ketika mendekati garis batas pegunungan. Suatu saat, ada seseorang yang masuk ke Kota Perak dan orang itu menghilang. Biar bagaimanapun, kita harus menyelamatkan dia dan dunia ini."

Suatu bunyi mengagetkanku dan ketika aku tahu apa itu, hal itu sangat mengerikan dengan kedua mata cokelat bulat yang besar di antara kepala dan telinga yang seperti kucing.

"Tak perlu khawatir. Hanya sisa tangkasi."

"Bagaimana mereka bisa selamat? Begitu juga Anda."

"Air adalah pelindung kami dari racun itu. Saat itu aku sedang melakukan meditasi di air terjun Agni utara. Juga tangkasi itu. Kami selalu bersama. Namanya Tar. Kemari Tar!" pria itu memanggil tangkasi itu. Hewan yang lucu. Wajahnya mirip sekali kucing, namun ia memiliki kedua tangan dan kaki dengan jari-jari yang panjang. Tubuhnya berwarna coklat keabuan dan ekornya sangat panjang.

"Oh, iya, apa itu Parhelion?"

"Matahari semu yang memberikan gambaran kepada bangsa berdarah peri. Yang kaulihat di utara dan timur."

"Di manakah Anda tinggal selama ini?"

Pria itu memeluk Tar yang tampak senang dan bangkit dari duduknya. Ia menuju ke arah pohon tua itu.

"Di sini."

Pria itu menunjuk sesuatu berbentuk pintu di pohon tua itu.

Ketika mataku menatap ke arah langit, ada sesuatu yang menutupi Parhelion utara. Seperti kabut biru tebal yang terbang perlahan-lahan menutupi langit. Dan suasanapun mulai menggelap. Segalanya berubah dan membuat nuansa tak enak.

"Bethari! Masuk ke dalam sini! Racun itu datang lagi!" pria itu berlari ke arahku...

-to be continued

Tidak ada komentar: